tikacerita,- Alergi?
Siapa sih yang nggak pingin
sembuh dari penyakit yang satu ini?
Orang bilang alergi itu jauh
dari nyawa (paling-paling bersin-bersin, paling-paling gatal-gatal, that's what
they said), jadi biasanya dengan ringan mereka bilang: jauhi aja alergennya!
Lalu, gimana dengan orang
yang alerginya mengakibatkan saluran pernafasannya menyempit, which is artinya
dia kesulitan bernafas tiap kali alerginya kambuh? Apa itu bisa dibilang jauh
dari nyawa?
Open your eyes, friends. The
fact is: banyak orang yang alerginya dalam taraf membahayakan jiwa. Walaupun seandainya
enggak, alergi itu sangat mengganggu, bro and sis.
Ada orang yang garuk-garuk
mulu atau bersin-bersin mulu karena alergi debu. Kalo yang begini yang
terganggu bukan cuma si penderita, tapi juga orang-orang di sekitarnya.
Buat yang pernah sekelas
dengan aku, pasti kalian termasuk yang terganggu gara-gara aku bersin dan buang
ingus mulu di kelas. Hayo, ngaku deh.
Ada penderita yang mukanya penuh jerawat.
Sudah coba macam-macam pengobatan, nggak bisa sembuh juga. Ternyata karena
alergi.
Biasanya sih akibatnya ini
yang berusaha diobati oleh penderita. Yang gatel-gatel dan jerawatan jadi
langganan dokter kulit. Yang asma langganan dokter paru. Pasti dikasih obat.
Pasti reda sesaat. Tapi lalu kambuh lagi. Selalu begitu.
Semua dokter yang aku temui
pun penjelasannya selalu sama: alergi nggak bisa sembuh. Jauhi saja alergennya.
Yeah, right. Asal tau saja, seandainya aku menjauhi semua alergen, bisa-bisa
tiap hari aku cuma makan nasi putih dan harus meringkuk di ruang steril karena
aku alergi debu, semua jenis asap dan semua jenis bulu binatang. Can you imagine that?
Karena bertahun-tahun dicekoki
informasi bahwa alergi nggak bisa sembuh, ketika ada kabar bahwa alergi bisa
sembuh, langsung deh alisku berkerut. Benarkah alergi bisa sembuh? Rasanya
mustahil.
Tapi setelah aku pikir-pikir,
apa sih yang mustahil dalam ilmu pengetahuan? Banyak penemuan baru. Banyak obat
ditemukan. Banyak penyakit bisa disembuhkan. Jadi, kalau sekarang alergi bisa
sembuh, bukankah itu bagus?
Akhirnya aku mulai pencarian
dengan gugling keyword: terapi bioresonansi untuk alergi. Dapat beberapa link.
Diantaranya rubrik health di kompas dot com yang mempertanyakan dasar ilmiah tentang bioresonansi. Linknya ada di sini. Ada juga di sini. Bantahannya ada tapi kalian gugling sendiri ya, soalnya link yang aku rekomendasikan sebelum ini ternyata jadi broken link, jadi aku hapus. Yang mau tau hasil penelitiannya, ada di sini. Pendapat dokter diantaranya bisa dibaca di sini.
Orait, aku nggak terlalu
peduli tentang teori. Yang penting praktek nih. Gimana testimoni yang sudah
menjalani terapi ini? Apa mereka sembuh? Gugling pun dilanjut. Ternyata lumayan
banyak juga mereka yang sembuh dengan terapi bioresonansi. Wah, ini benar-benar
kabar gembira. Layak dicoba. Lagipula, ini ikhtiar. Masalah sembuh enggaknya,
balik lagi ke ketentuan Allah.
Jadi, aku cari info di mana
tempat terapi bioresonansi di Malang. Oh, ternyata RSI Aisyah sama RKZ Sawahan. Oke, di
RS. Ini sudah credit tersendiri. Kalau nggak ilmiah, mana mungkin RS mau membuka
terapi ini kan?
Akhirnya hari selasa tanggal 10 Februari 2015, dengan
penasaran, aku berangkat ke RSI Aisyah setelah tanya jadwal dan biaya via
telpon. (Menurut CS, biaya tes alergi 150 ribu untuk cek 40 jenis alergen dan 250 ribu untuk
cek 60 jenis alergen. Biaya terapi 150 ribu.)
Waktu aku antri di depan
poli, masih ada pasien di dalam. Oke, nunggu. 5 menit, 10 menit. Kok gak
keluar-keluar ya? Aku antri sampe tidur-tidur. Segitu lamakah? Well, we'll see
then.
Saat giliranku tiba, aku
tanya dulu ke dokternya (dr Satra Wiyanto, MARS) tentang konsep pengobatan cara
ini. Dokternya malah ngajak tebak-tebakan. Bagian terkecil dunia ini apa?
Partikel. Lebih kecil lagi? Atom. Lebih kecil? Proton, neutron. Lebih kecil
lagi? Aku menggeleng. "Gelombang", kata pak dokter. Oh.
Jadi, kenapa orang alergi
sesuatu, itu karena gelombang dalam tubuh orang itu tidak sama dengan gelombang
alergen.
Saat itu pak dokter sedang
makan kripik pisang. Sepertinya sih coffee break dari RS. Di depan pak dokter
ada alat bertangkai panjang, yang ketika diangkat, ujungnya langsung berputar
membentuk lingkaran. "Lho ya, belum apa-apa udah kelihatan, Mbaknya alergi
pisang ya?"
Aku mengangguk. Ya, aku
memang alergi pisang.
Waktu ujungnya dipindahkan ke
arah pak dokter, alat itu bergerak horizontal. "Nah, ini berarti saya
nggak alergi pisang."
Trus terapi ini bagaimana
kerjanya? Menurut beliau, dengan bantuan alat, gelombang alergen-alergen itu
pelan-pelan dikenalkan ke tubuh penderita alergi, agar tidak lagi menolak.
Aku manggut-manggut. Konsep
yang sederhana sebenarnya ya?
Setelah sedikit lagi obrolan
tentang gelombang, it's time for me to test. Eng ing engggg, hasilnya: dari 60
jenis alergen, yang aku nggak alergi cuma 6 jenis aja.
Ya ampun.
Aku dulu pernah skin prick test, nggak sebanyak ini sih alergen yang di tes-kan. Tapi ya, hasil tes tersebut hampir semua
sama dengan hasil tes alat 'muter-muter' itu. Nggak ilmiah? *angkat bahu*
Dan terapi pun dimulai. Dokter
mengambil sedikit darahku untuk diletakkan di sebuah alat.
Karena alergiku menyebabkan
asma, jadi itu yang diterapi pertama kali.
Aku rebahan di atas sebuah
lempengan yang sudah ditata di atas tempat tidur. Lalu ada lempengan lain yang
harus ditaruh di dada (harus kena kulit). Don't worry, pak dokter memberikan
lempengan itu kepada pasien, jadi pasien yang memasukkan lempengan itu sendiri
ke dalam baju. Alat dinyalakan, timer di-set, dan pak dokter meninggalkan
ruangan dengan pintu poli dibuka lebar. Kirain itu alat bakal terasa nyetrum
atau apa, tapi ternyata enggak. Saking nggak terasa apa-apanya, dan saking
tenangnya ruangan, aku ketiduran. Kesempatan me time, hehehe. Setelah berlalu
entah berapa lama, pak dokter kembali dan mematikan alat. Selanjutnya satu kaki
diangkat diatas lutut, lalu ada alat yang ditekankan ke kaki. Lalu sekali lagi,
alat dinyalakan, timer di-set dan pak dokter keluar. Alat itu berbunyi
tit-tit-tit seperti alat pemantau detak jantung, teratur. Kali ini aku nggak
ketiduran karena kakiku kesemutan. Setelah terapi kaki, selanjutnya tangan.
Masing-masing tangan menggenggam bola logam, posisi masih berbaring, dan alat
beraksi lagi. Lagi-lagi aku ketiduran. Sumpah, ini terapi terenak yang pernah
kulakukan, hahaha.
Setelah kurang lebih sejam,
terapi selesai. Dengan mata setengah mengantuk, aku bertanya harus berapa kali
terapi lagi? Dokter bilang, tiap orang beda-beda. Semakin banyak alergen,
semakin lama terapinya. Dokter bilang, prosentase kesembuhan sekitar 70-80
persen.
Yah, karena sudah hidup
bersama alergi seumur hidupku, bagiku tak masalah harus terapi agak lama demi
kesembuhan (walaupun seandainya cuma 70-80%). Setelah bertahun-tahun merasa tak ada harapan, ada sedikit cahaya
itu serasa durian runtuh.
Oke then, aku nikmati aja
terapi ini.
Terapi kedua aku lakukan hari
ini, Rabu, 18 Februari 2015.
Kali ini ginjal yang diterapi
lebih dulu dengan media ludah, bukan darah lagi. Lempengan diletakkan di
punggung bawah, di bawah ginjal, ditambah lempengan yang diletakkan di perut.
Setelah itu, baru lempengan
di punggung dan di dada seperti sebelumnya. Kali ini pun aku ketiduran.
Biaya terapi: 150 ribu.
Hasil: belum terlihat.
Sabarrrrrrr.
Edit to add April 2020: Maaf aku nggak apdet apakah di RKZ masih ada terapi ini. Yang aku jalani sekarang di Persada Hospital seperti yang aku tulis di seri ke-6 (Terapi Bioresonansi Mengapa Perlu Lanjut). Daftar lengkap RS di seluruh Indonesia yang melayani terapi ini kalian gugling sendiri yah, soalnya link yang pernah aku cantumkan udah jadi broken link.
Next: Eh, Aku Nggak Sesak Nafas (Terapi Bioresonansi 2)