Aku kasih tahu ya teman, tahun segitu itu, belum ada aplikasi obrolan gratis di gawai macam WA dan Line, jadi kalau mau mengobrol, kita pakai aplikasi obrolan berbasis surel, yaitu YM alias Yahoo Messenger, yang sekarang entah masih ada entah tidak.
Kalau ingin ketemu komunitas yang punya perhatian yang sama, kita pakai milis alias mailing list, yang masuk ke surel, jadi kalau tidak tiap hari kita rajin menghapus puluhan bahkan ratusan surel yang masuk (yang kadang cuma berisi, “Aku setuju”, “Ini bagus”, “Aku ikut”), dalam beberapa minggu saja kotak masukmu akan penuh berisi surel tak penting.
Salah satu komunitas yang aku ikuti melalui milis adalah Sekolah Rumah dan Asah Pena (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif), tempat berkumpulnya para praktisi homeschooling alias sekolah rumah, di mana aku belajar banyak hal tentang pendidikan.
Komunitas itu berisi orang-orang hebat yang selain sangat kreatif dalam mendidik keluarga, mereka juga suka menulis, yang mayoritas dituangkan dalam bentuk blog. Mulailah aku ketularan membuat blog juga. Waktu itu aku pakai blog berbasis multiply, membahas tentang konsep pendidikan di rumah.
Sayang sekali multiply kini sudah almarhum, jadi udah nggak bisa dibaca lagi, hehehe…
Suatu hari, seorang teman merekomendasikan buku Rumahku Sekolahku. Dia bilang buku itu bagus untuk mempelajari sekolah rumah.
Baiklah, tanpa berpikir panjang, kubeli buku itu di Gramedia.
Ketika mulai membacanya, aku kaget banget. Buku itu berisi tulisanku di blog. Ada tulisan orang lain juga, yang aku merasa yakin pernah membacanya.
Memanfaatkan mesin pencari, aku mulai mencari padanan tiap halaman buku itu di internet.
Dapat!
Seluruh isi buku tersebut ternyata adalah hasil plagiat dari blog beberapa anggota milis sekolah rumah. Total jenderal plagiat, tidak ada satu kalimat pun yang dimodifikasi. Plagiatornya bahkan tak mau susah-susah merubah kalimat.
Kucoba menghubungi penerbitnya, menunjukkan bukti-bukti dan bernegosiasi, apakah mungkin nama penulisnya diganti nama-nama kami penulis aslinya. Mereka bilang tidak bisa, karena buku terlanjur didistribusikan. Buku juga tidak bisa ditarik lagi. Mereka hanya bisa bertindak sebatas memasukkan plagiatornya ke dalam daftar hitam. Apakah royalti bisa dialihkan ke kami? Jawabannya tidak, karena tidak ada kontrak dengan kami.
Aku bahas masalah ini di milis. Ketika menemui jalan buntu dengan penerbit, beberapa teman menyarankan membawa masalah ini ke ranah hukum, bahkan ada yang bersedia mendampingi sebagai pengacara. Tapi ternyata teman-teman yang lain, para pemilik tulisan, memilih untuk tidak mengambil langkah hukum apapun, toh niat mereka dari awal memang supaya sekolah rumah bisa dipahami semua orang, jadi kalau jadi buku dan dibaca banyak orang, itu bagus. Hitung-hitung beramal lewat literasi.
Walaupun kecewa, sebenarnya aku tidak kaget juga. Sejak kenal mereka, aku tahu kalau mereka memang berhati peri. Cuma aku saja nih yang masih suka menuruti bisikan setan durjana, susah banget untuk bisa menerima. Sampai-sampai waktu seorang teman menenangkanku dengan bilang, “Harusnya kamu bangga dong, berarti tulisanmu cukup berkualitas untuk diterbitkan.” Bukannya bersyukur ada yang menghibur, aku malah langsung meradang. “Bangga? Yang benar saja! Sudah susah-susah nulis juga!”
Sejak kejadian itu, semangatku untuk menulis blog turun drastis. Buat apa susah-susah mikir kalau jatuhnya disalin orang dengan seenak jidat? Sampai multiply gulung tikar pun aku tak peduli. Kubiarkan saja tulisanku ikut hilang bersama sang domain. Bahkan buku fisik Rumahku Sekolahku pun tak lagi kusimpan, kuhibahkan kepada orang lain daripada melihatnya di rak cuma bikin sakit hati. Kasus itu seperti tamparan kasar untukku, hingga aku tak bersemangat menulis selama beberapa waktu.
Sampai suatu saat, aku bertemu beberapa penulis di dunia nyata dan kemudian tergoda untuk mulai aktif menulis lagi. Kali ini bukan dalam bentuk literasi digital, tetapi fisik. Aku menulis cerpen dan mulai belajar menulis novel. Setelah melalui proses dan drama yang panjang, bukuku akhirnya terbit.
Bersamaan dengan proses penulisan novel, pada tahun 2015, aku juga mulai membuat blog baru di sini. Awalnya tidak jelas juga isinya, kebanyakan curhat, tapi setelah mengikuti komunitas narablog, aku mulai mengambil fokus supaya blogku bisa menghasilkan.
Kini, bertahun-tahun setelah kasus plagiarisme blogku, aku sangat sepakat dengan ucapan temanku, bahwa aku memang harus bangga tulisanku diplagiat, karena sudah terbukti tulisanku layak terbit, dan layak dibayar dengan sepadan.
Bangga yang terlambat ya? Hehehe, tapi lebih baik terlambat kan, daripada tidak sama sekali? Memang hikmah bukan jenis benda yang kasat mata seperti sepotong klepon di meja makan.
Hal itu pula salah satunya yang melecutku untuk menyusun resolusi bagi blogku di tahun 2019 ini, yaitu memperbanyak konten yang bermanfaat dengan bahasa yang lebih santai dan menghibur. Maksudku, tidak semua orang bisa langsung menangkap hikmah dari sebuah kejadian, bukan? Berlaku juga dengan tulisan. Mungkin dengan cara yang lebih menghibur, pembaca lebih mudah menangkap pesan yang ingin kusampaikan, agar tak memerlukan waktu lama untuk mendapatkan hikmah, tidak seperti aku yang butuh bertahun-tahun untuk mengambil hikmah dari sebuah peristiwa.
Bagaimana kalau diplagiat lagi?
Kali ini aku tak akan diam saja.
Enyah kau, plagiator, atau pilih mati kukitik-kitik?
Salah satu komunitas yang aku ikuti melalui milis adalah Sekolah Rumah dan Asah Pena (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif), tempat berkumpulnya para praktisi homeschooling alias sekolah rumah, di mana aku belajar banyak hal tentang pendidikan.
Komunitas itu berisi orang-orang hebat yang selain sangat kreatif dalam mendidik keluarga, mereka juga suka menulis, yang mayoritas dituangkan dalam bentuk blog. Mulailah aku ketularan membuat blog juga. Waktu itu aku pakai blog berbasis multiply, membahas tentang konsep pendidikan di rumah.
Sayang sekali multiply kini sudah almarhum, jadi udah nggak bisa dibaca lagi, hehehe…
Suatu hari, seorang teman merekomendasikan buku Rumahku Sekolahku. Dia bilang buku itu bagus untuk mempelajari sekolah rumah.
Baiklah, tanpa berpikir panjang, kubeli buku itu di Gramedia.
Ketika mulai membacanya, aku kaget banget. Buku itu berisi tulisanku di blog. Ada tulisan orang lain juga, yang aku merasa yakin pernah membacanya.
Memanfaatkan mesin pencari, aku mulai mencari padanan tiap halaman buku itu di internet.
Dapat!
Seluruh isi buku tersebut ternyata adalah hasil plagiat dari blog beberapa anggota milis sekolah rumah. Total jenderal plagiat, tidak ada satu kalimat pun yang dimodifikasi. Plagiatornya bahkan tak mau susah-susah merubah kalimat.
Kucoba menghubungi penerbitnya, menunjukkan bukti-bukti dan bernegosiasi, apakah mungkin nama penulisnya diganti nama-nama kami penulis aslinya. Mereka bilang tidak bisa, karena buku terlanjur didistribusikan. Buku juga tidak bisa ditarik lagi. Mereka hanya bisa bertindak sebatas memasukkan plagiatornya ke dalam daftar hitam. Apakah royalti bisa dialihkan ke kami? Jawabannya tidak, karena tidak ada kontrak dengan kami.
Aku bahas masalah ini di milis. Ketika menemui jalan buntu dengan penerbit, beberapa teman menyarankan membawa masalah ini ke ranah hukum, bahkan ada yang bersedia mendampingi sebagai pengacara. Tapi ternyata teman-teman yang lain, para pemilik tulisan, memilih untuk tidak mengambil langkah hukum apapun, toh niat mereka dari awal memang supaya sekolah rumah bisa dipahami semua orang, jadi kalau jadi buku dan dibaca banyak orang, itu bagus. Hitung-hitung beramal lewat literasi.
Walaupun kecewa, sebenarnya aku tidak kaget juga. Sejak kenal mereka, aku tahu kalau mereka memang berhati peri. Cuma aku saja nih yang masih suka menuruti bisikan setan durjana, susah banget untuk bisa menerima. Sampai-sampai waktu seorang teman menenangkanku dengan bilang, “Harusnya kamu bangga dong, berarti tulisanmu cukup berkualitas untuk diterbitkan.” Bukannya bersyukur ada yang menghibur, aku malah langsung meradang. “Bangga? Yang benar saja! Sudah susah-susah nulis juga!”
Sejak kejadian itu, semangatku untuk menulis blog turun drastis. Buat apa susah-susah mikir kalau jatuhnya disalin orang dengan seenak jidat? Sampai multiply gulung tikar pun aku tak peduli. Kubiarkan saja tulisanku ikut hilang bersama sang domain. Bahkan buku fisik Rumahku Sekolahku pun tak lagi kusimpan, kuhibahkan kepada orang lain daripada melihatnya di rak cuma bikin sakit hati. Kasus itu seperti tamparan kasar untukku, hingga aku tak bersemangat menulis selama beberapa waktu.
Sampai suatu saat, aku bertemu beberapa penulis di dunia nyata dan kemudian tergoda untuk mulai aktif menulis lagi. Kali ini bukan dalam bentuk literasi digital, tetapi fisik. Aku menulis cerpen dan mulai belajar menulis novel. Setelah melalui proses dan drama yang panjang, bukuku akhirnya terbit.
Bersamaan dengan proses penulisan novel, pada tahun 2015, aku juga mulai membuat blog baru di sini. Awalnya tidak jelas juga isinya, kebanyakan curhat, tapi setelah mengikuti komunitas narablog, aku mulai mengambil fokus supaya blogku bisa menghasilkan.
Kini, bertahun-tahun setelah kasus plagiarisme blogku, aku sangat sepakat dengan ucapan temanku, bahwa aku memang harus bangga tulisanku diplagiat, karena sudah terbukti tulisanku layak terbit, dan layak dibayar dengan sepadan.
Bangga yang terlambat ya? Hehehe, tapi lebih baik terlambat kan, daripada tidak sama sekali? Memang hikmah bukan jenis benda yang kasat mata seperti sepotong klepon di meja makan.
Hal itu pula salah satunya yang melecutku untuk menyusun resolusi bagi blogku di tahun 2019 ini, yaitu memperbanyak konten yang bermanfaat dengan bahasa yang lebih santai dan menghibur. Maksudku, tidak semua orang bisa langsung menangkap hikmah dari sebuah kejadian, bukan? Berlaku juga dengan tulisan. Mungkin dengan cara yang lebih menghibur, pembaca lebih mudah menangkap pesan yang ingin kusampaikan, agar tak memerlukan waktu lama untuk mendapatkan hikmah, tidak seperti aku yang butuh bertahun-tahun untuk mengambil hikmah dari sebuah peristiwa.
Bagaimana kalau diplagiat lagi?
Kali ini aku tak akan diam saja.
Enyah kau, plagiator, atau pilih mati kukitik-kitik?
39 komentar
Dulu saat jadi mahasiswa, plagiat itu seperti lumrah saat ada tugas bkin makalah dari sinilah bibit plagiat bertumbuh kembang... entahlah kita harus membiarkannya atau mencari kalpanax, karena menjamurnya jga pada teman2 sendiri :D
BalasHapusKarena sistem pendidikan kita terlanjur memuja kesempurnaan. Kita tidak dilatih menghargai hasil pemikiran sendiri. Sedih ya?
HapusWaktu tahun 2009 isi blog saya suka dicopy paste orang. Bahkan saya izinkan. Karena dulu saya tak mengerti arti plagiat. Yang penting menukis dan bisa dibaca semua orang.
BalasHapusSetelah tahu istilah plagiat, bagia yang mengcopy wajib melampirkan sumbernya dari mana.
Pake plagiator checker mbak?
HapusAwalnya saya juga kecewa sekali karena blogku dicopas habis-habisan. Sampai sekarang jug masih kecewa, tapi lama-lama tampaknya harus siap. Kalau konten sudah dipublish di media online ya siap-siap saja dicopas.
BalasHapusDicopas masih mending mbak, lha ini jadi buku, dijual di toko buku 😂😂
HapusWaah. Sama aku juga pake multiply.. Kita g ketemu d mp y saat itu .
BalasHapusMungkin ketemu tapi gatau 😁😁
HapusIya bisa jadi hehe
HapusNegara kita kurang menghargai Hak Atas Kekayaan Intelektual.
BalasHapusMungkin begitu ya mas?
HapusKalau menurut saya, harus jangan dibiarkan Plagiator dan harus dikasih efek jera biar tidak jadi kebiasaan di Indonesia ini...
BalasHapusSanksinya cuma sanksi sosial, jadi gak gitu berefek kali ya?
HapusDuh enak banget ya plagiat tulisan orang dan terbit jadi buku, nggak kena sanksi apa-apa..
BalasHapusIya, melenggang dah dianya..
HapusSedih kalau melihat hal seperti ini,semoga tidak ada lagi ya. Dan jangan sampai kita menjadi bagian lingkaran yang merusak literasi, amiin.
BalasHapusAmin... Semoga yaa..
HapusSama ky foto. Suatu ketika pernah menemukan foto ku di web orang pas jelaein ttg bukit bangkirai di balikpapan. Ingetku dulu cm jadi profil pic trus dipake orang. Sebel sih soalnya dg kamera sederhana aja gambarnya keren haha *kepedean.
BalasHapussayangnya ga ada watermark nya hahaa trus kuikhlaskan
Nggak disertakan sumbernya? Udah dihubungi supaya mencantumkan sumber?
HapusSalut perjuangan mbak Tika dalam memperjuangkan tindak plagiarism walaupun temen2 yg lain dah pada legowo
BalasHapusBisanya sebatas itu.. Diambil hikmahnya aja kali ya?
HapusGuruku pernah bilang, tidak apa-apa tulisan kamu di plagiat, karena kalau niat awal kamu untuk membagi ilmu, mungkin lewat si plagiator lah tulisan kamu benyak dirasakan manfaat oleh orang lain.
BalasHapussaat beliu bilang begitu, aku cuma bisa diam karena awalnya sikapku seperti kakak juga.. wkwkw
Hehehe, ikhlas itu emang berat ya?
HapusWah bacanya jadi ikutan gemas. Semoga masalah plagiasi ini tidak akan terulang lagi ya aamiin
BalasHapusAmin.. Iya mbak, setidaknya ada efek jera dan pelakunya mau belajar etika
HapusTerus berdoa dalam diri ini agar terhindar dari niat plagiat. Dapat pelajaran baru dari sikap legowo saat tulisan di plagiat.
BalasHapusMakasih mas, kita sama-sama belajar..
HapusDilema ya mb harus bersikap seperti apa, tapi menurut ku apa yg mb lakukan diawal udah keren mengonfirmasi isi buku yang diplagiat ke penerbit, seharusnya ini jadi catatan penerbit utk lebih jeli lagi sblm menerbitkan naskah.
BalasHapusSemoga Allah balas dengan sebaik baik balasan ya mb atas tulisan mb yg dicopas, Amiin
Amin... Semoga ya mbak, semua ada hikmahnya...
HapusSemoga yg copas diberi keuntungan yg sebanyak"nya iya mba 😊
BalasHapusSalam sapa
Hahaha, salam jugaa
HapusHmm, untuk kasus plagiat seperti ini memang bikin geram ya. Bangga boleh karena tulisan kita akhirnya banyak yang membaca, tapi juga tentu sakit hati ketika karya tersebut disebarluaskan bukan atas nama kita.
BalasHapusIya betul mbak, campur aduk pokoknya
HapusGimana caranya mendeteksi plagiat itu mbak?
BalasHapusKalo kasusku sih gugling aja. Sekarang udah ada plagiarism checker
HapusTernyata mbak Tika pernah di Multiply juga tho? dan kenalnya baru sekarang hehehe
BalasHapusAkutu kayak pernah inget sama mbak Ivon deh 😂
HapusAku sih gak peduli mau plagiat atau nggak, kalau cuma satu artikel ya gak apa... tapi kalau udah satu blog yg di plagiat, siap-siap aja akunnya hilang haha
BalasHapusKalo jadi buku gimana? 😂
HapusHaii, salam kenal. Terima kasih sudah berkunjung. Silakan komentar di sini yaa.