tikacerita.com,- Lama gak apdet...
Ini penyakit banget buat narablog suka-suka sepertiku ini. Sempat post Mal di Malang: Apakah Ramah Disabilitas sih, tapi itu sebenarnya tulisan lama yang ngendon di draft karena nunggu foto-foto.
Tapiiii kali ini gak apdetku ada sebabnya lho, bukan cuma alesan.
Jadi, beberapa bulan terakhir ini kondisiku drop parah. Tensi rendah, hb rendah, leukosit naik turun, asma sering kambuh, vertigo, demam menggigil padahal suhu di bawah 37°C, dll, dsb.
Aku cuma bisa keluar rumah untuk ke dokter. Bahkan belanja lebaranpun mostly kulakukan onlen.
Sementara itu, beberapa email dari pembaca blog ini juga menanyakan perkembangan terapi alergiku setelah mereka baca serial terapi bioresonansi (yang dimulai oleh Mencoba Terapi Bioresonansi untuk Alergi). Aku bingung juga mau balas gimana sementara aku sendiri berhenti terapi tiap kali udah merasa enakan. Maunya sih ngirit biaya, tapi kok kambuh-kambuhan.
Kondisi ini terus terang bikin aku bingung.
Demamnya agak membingungkan karena hasil tes widalku emang positif tapi rendah aja. Sempat periksa ke internist, tapi malah dimarahi ketika bilang kalo tipus (padahal ini menurut dokter umum yang sebelumnya kutemui). Kata dokter penyakit dalam tersebut, orang Indonesia secara umum widalnya emang segitu karena kondisi lingkungan. Bukan berarti itu tipus.
Lah, yang beda ilmu kan mereka para dokter itu kok yang dimarahi pasien sih? Hadeh, enggak lagi deh aku balik ke dokter itu. Males banget.
Karena asmaku juga sering kambuh, aku dirujuk ke spesialis paru oleh faskes tingkat pertama. Aku ambil di RSI Unisma ke dr. Teguh. Beliau ini udah senior banget dan detil. Hasil labku diminta semua dan dijelaskan. Dari hasil lab itu, terlihat bahwa tubuhku memang sangat reaktif terhadap rangsangan dari luar alias hipersensitif. Bahasa sederhananya, tentaranya sangat protektif. Ibarat ada yang melempar kerikil aja, itu disangka bom dan seluruh pasukan akan waspada, tank dan senjata siap menyerang.
Aku melongo.
Puluhan tahun aku langganan dokter, baru kali ini aku ketemu dokter yang bisa menjelaskan kondisiku dengan bahasa yang sederhana sehingga akhirnya aku paham apa yang terjadi dengan tubuhku. Dengan begini aku jadi mengerti, kenapa beberapa kali dokter memberiku obat yang mengandung steroid, yang fungsinya supaya tubuh tidak terlalu reaktif.
Dokter berikutnya yang menjelaskan dengan panjang lebar tapi sederhana adalah dr. Lukman, spesialis penyakit mulut di RS Persada. Dokter ini santai banget dan mau menjelaskan dengan detil kondisi kita.
Beliau menjelaskan bahwa jenis penyakit imunitas itu ada 3.
Yang pertama adalah penyakit autoimun, di mana tubuh bingung mengenali teman atau lawan, semuanya diserang.
Yang kedua adalah hipersensitif, di mana tubuh kita lebay, terlalu protektif dan sensitif melindungi diri.
Yang ketiga adalah tubuh kesulitan melindungi diri sendiri. Masuk di kategori ini adalah HIV/AIDS.
Sebelum ini, saking bingungnya aku dengan kondisiku, aku sempat menyangka kena penyakit autoimun (sempat dirujuk buat tes ANA segala). Setelah dijelaskan oleh kedua dokter tersebut, legalah aku sekarang karena tau kalo aku masuk kategori ke-2. Cuma lebay aja, nggak bingung dan nggak kehilangan kemampuan melindungi diri.
Jadi sekarang tuh kalo flu berat, gatel-gatel, asma dan sembarang gejala muncul, aku ngerti kalo tubuhku sedang melindungi diri aja. Mungkin dari virus, mungkin dari bakteri, atau mungkin juga cuma biar nggak sakit hati #eaa.
Eh ya, sewaktu periksa ke dua dokter tersebut aku pake BPJS lho. Mereka bener-bener dokter-dokter yang penuh dedikasi, yang nggak pelit ilmu meskipun kepada pasien BPJS.
Salut kan?
Dengan bekal penjelasan tersebut, aku paham kenapa alergiku kambuh-kambuhan. Ya memang karena terapinya belum tuntas. Dari 54 jenis alergen yang tubuhku resisten, mungkin baru beberapa aja yang bisa diterima oleh tubuh. Itulah mengapa tubuhku masih juga reaktif terhadap banyak zat dan kondisi. Kalo mau bener-bener sembuh, aku harus mulai mengatur diri.
Dengan pasukan yang overprotektif, memperbaiki daya tahan tubuh adalah prioritas pertama. Ibaratnya, daya tahan ini seperti benteng, yang kalo dibangun dengan baik, jika suatu ketika ada serangan, pasukan nggak perlu siaga dengan the whole army karena ada benteng yang bisa diandalkan lebih dulu.
Nah karena seperti membangun benteng, memperbaiki daya tahan ini butuh komitmen, harus konsisten step by step. Untuk ini, aku memutuskan pake jasa personal trainer di gym supaya latihanku jelas dan terpantau. Selama ini kan aku olahraga sendiri yang nggak jelas aturan dan ukurannya, suka-suka aja, jadinya hasilnya juga nggak jelas, wkwkwk.
Yang kedua, aku harus mulai melanjutkan lagi terapi bioresonansi karena dengan gelombang yang sama (sebagaimana yang kuulas dalam Mencoba Terapi Bioresonansi), tubuh tidak akan lagi menganggap 'kerikil-kerikil' sebagai ancaman.
Kali ini aku harus bener-bener konsisten, walaupun sudah enakan, tetep harus lanjut sampai tuntas.
Aku memilih terapi lanjutan di Persada Hospital (bukan lagi di RSIA), karena di sana dokter dan asistennya perempuan sehingga lebih nyaman bagiku. Pun dokternya nggak harus hadir karena ada asisten khusus yang menangani. Kalo di RSIA kan kalo dokternya sibuk atau ke luar kota, terapinya libur juga.
Baiklahh, mari kita lanjutkan proses ini. Doakan kali ini aku istiqomah ya manteman, dimudahkan rejeki juga untuk lanjut terapi. Amin..
Ini penyakit banget buat narablog suka-suka sepertiku ini. Sempat post Mal di Malang: Apakah Ramah Disabilitas sih, tapi itu sebenarnya tulisan lama yang ngendon di draft karena nunggu foto-foto.
Tapiiii kali ini gak apdetku ada sebabnya lho, bukan cuma alesan.
Jadi, beberapa bulan terakhir ini kondisiku drop parah. Tensi rendah, hb rendah, leukosit naik turun, asma sering kambuh, vertigo, demam menggigil padahal suhu di bawah 37°C, dll, dsb.
Aku cuma bisa keluar rumah untuk ke dokter. Bahkan belanja lebaranpun mostly kulakukan onlen.
Sementara itu, beberapa email dari pembaca blog ini juga menanyakan perkembangan terapi alergiku setelah mereka baca serial terapi bioresonansi (yang dimulai oleh Mencoba Terapi Bioresonansi untuk Alergi). Aku bingung juga mau balas gimana sementara aku sendiri berhenti terapi tiap kali udah merasa enakan. Maunya sih ngirit biaya, tapi kok kambuh-kambuhan.
Kondisi ini terus terang bikin aku bingung.
Demamnya agak membingungkan karena hasil tes widalku emang positif tapi rendah aja. Sempat periksa ke internist, tapi malah dimarahi ketika bilang kalo tipus (padahal ini menurut dokter umum yang sebelumnya kutemui). Kata dokter penyakit dalam tersebut, orang Indonesia secara umum widalnya emang segitu karena kondisi lingkungan. Bukan berarti itu tipus.
Lah, yang beda ilmu kan mereka para dokter itu kok yang dimarahi pasien sih? Hadeh, enggak lagi deh aku balik ke dokter itu. Males banget.
Karena asmaku juga sering kambuh, aku dirujuk ke spesialis paru oleh faskes tingkat pertama. Aku ambil di RSI Unisma ke dr. Teguh. Beliau ini udah senior banget dan detil. Hasil labku diminta semua dan dijelaskan. Dari hasil lab itu, terlihat bahwa tubuhku memang sangat reaktif terhadap rangsangan dari luar alias hipersensitif. Bahasa sederhananya, tentaranya sangat protektif. Ibarat ada yang melempar kerikil aja, itu disangka bom dan seluruh pasukan akan waspada, tank dan senjata siap menyerang.
Aku melongo.
Puluhan tahun aku langganan dokter, baru kali ini aku ketemu dokter yang bisa menjelaskan kondisiku dengan bahasa yang sederhana sehingga akhirnya aku paham apa yang terjadi dengan tubuhku. Dengan begini aku jadi mengerti, kenapa beberapa kali dokter memberiku obat yang mengandung steroid, yang fungsinya supaya tubuh tidak terlalu reaktif.
Dokter berikutnya yang menjelaskan dengan panjang lebar tapi sederhana adalah dr. Lukman, spesialis penyakit mulut di RS Persada. Dokter ini santai banget dan mau menjelaskan dengan detil kondisi kita.
Beliau menjelaskan bahwa jenis penyakit imunitas itu ada 3.
Yang pertama adalah penyakit autoimun, di mana tubuh bingung mengenali teman atau lawan, semuanya diserang.
Yang kedua adalah hipersensitif, di mana tubuh kita lebay, terlalu protektif dan sensitif melindungi diri.
Yang ketiga adalah tubuh kesulitan melindungi diri sendiri. Masuk di kategori ini adalah HIV/AIDS.
Sebelum ini, saking bingungnya aku dengan kondisiku, aku sempat menyangka kena penyakit autoimun (sempat dirujuk buat tes ANA segala). Setelah dijelaskan oleh kedua dokter tersebut, legalah aku sekarang karena tau kalo aku masuk kategori ke-2. Cuma lebay aja, nggak bingung dan nggak kehilangan kemampuan melindungi diri.
Jadi sekarang tuh kalo flu berat, gatel-gatel, asma dan sembarang gejala muncul, aku ngerti kalo tubuhku sedang melindungi diri aja. Mungkin dari virus, mungkin dari bakteri, atau mungkin juga cuma biar nggak sakit hati #eaa.
Eh ya, sewaktu periksa ke dua dokter tersebut aku pake BPJS lho. Mereka bener-bener dokter-dokter yang penuh dedikasi, yang nggak pelit ilmu meskipun kepada pasien BPJS.
Salut kan?
Dengan bekal penjelasan tersebut, aku paham kenapa alergiku kambuh-kambuhan. Ya memang karena terapinya belum tuntas. Dari 54 jenis alergen yang tubuhku resisten, mungkin baru beberapa aja yang bisa diterima oleh tubuh. Itulah mengapa tubuhku masih juga reaktif terhadap banyak zat dan kondisi. Kalo mau bener-bener sembuh, aku harus mulai mengatur diri.
Dengan pasukan yang overprotektif, memperbaiki daya tahan tubuh adalah prioritas pertama. Ibaratnya, daya tahan ini seperti benteng, yang kalo dibangun dengan baik, jika suatu ketika ada serangan, pasukan nggak perlu siaga dengan the whole army karena ada benteng yang bisa diandalkan lebih dulu.
Nah karena seperti membangun benteng, memperbaiki daya tahan ini butuh komitmen, harus konsisten step by step. Untuk ini, aku memutuskan pake jasa personal trainer di gym supaya latihanku jelas dan terpantau. Selama ini kan aku olahraga sendiri yang nggak jelas aturan dan ukurannya, suka-suka aja, jadinya hasilnya juga nggak jelas, wkwkwk.
Yang kedua, aku harus mulai melanjutkan lagi terapi bioresonansi karena dengan gelombang yang sama (sebagaimana yang kuulas dalam Mencoba Terapi Bioresonansi), tubuh tidak akan lagi menganggap 'kerikil-kerikil' sebagai ancaman.
Kali ini aku harus bener-bener konsisten, walaupun sudah enakan, tetep harus lanjut sampai tuntas.
Aku memilih terapi lanjutan di Persada Hospital (bukan lagi di RSIA), karena di sana dokter dan asistennya perempuan sehingga lebih nyaman bagiku. Pun dokternya nggak harus hadir karena ada asisten khusus yang menangani. Kalo di RSIA kan kalo dokternya sibuk atau ke luar kota, terapinya libur juga.
![]() |
Alat terapi yang bikin rileks |
![]() |
Di Persada namanya biofisika. Biaya nggak jauh beda dengan RSIA. |
Baiklahh, mari kita lanjutkan proses ini. Doakan kali ini aku istiqomah ya manteman, dimudahkan rejeki juga untuk lanjut terapi. Amin..