tikacerita.com,- Bagi orang dengan mental disorder/mental illness, mengakui bahwa dirinya ada dalam kondisi tersebut adalah suatu perjuangan. Apalagi di Indonesia yang warganya suka sekali memancang stigma. Tapi di bulan ini, bulan di mana ada World Mental Health Day, banyak orang akhirnya berani bersuara, mengakui bahkan menulis tentang penyakitnya, demi membuka mata masyarakat.
Film Joker yang baru-baru ini tayang, terlepas dari pro kontranya, lumayan membantu menyadarkan khalayak untuk lebih peduli terhadap gangguan mental.
Bagiku sendiri, nggak mudah menuangkan hal ini dalam bentuk tulisan. Selama ini cuma keluarga dan teman dekat yang tahu kondisi ini. Tapi demi #mentalhealthawareness, akhirnya aku tulis juga. Jangan dibully ya teman, aku nangisan, hahaha...
Pernahkah kamu merasa lelah lahir batin, fisik dan psikis, bahkan saking putus asanya sampai ingin hidup ini berakhir?
Aku pernah.
Tiba-tiba menangis di tengah keramaian tanpa sebab yang jelas. Bahkan di tengah pesta yang penuh keriuhan pun aku merasa sedih.
Aku juga gampang sekali lelah meskipun aktivitasku nggak berat. Aku bisa tidur setengah hari cuma karena jalan kaki ke minimarket.
Konsentrasi adalah hal yang berat buatku.
Kalau ada yang mengajakku bicara, aku cuma bisa mendengarkannya beberapa menit aja. Selebihnya, pikiranku terbang ke mana-mana.
Buku yang biasanya jadi sahabatku (seminggu bisa selesai 2 buku), tak lagi bisa kunikmati, karena aku cuma bisa fokus di satu dua halaman aja, selebihnya buyar.
Orang yang lihat kondisiku biasanya berujar, “Kamu kenapa sih, mbok ya bersyukur, hidupmu itu lho udah enak banget. Lihat si itu, hidupnya susah, bla..bla..bla..”
Apa nasihat ini bikin aku merasa lebih positif?
Enggak.
Justru sebaliknya, aku merasa makin terpuruk, menyalahkan diri sendiri, kenapa nggak bisa bersyukur, kenapa nggak bisa positive thinking, kenapa nggak punya semangat, dsb dll. (Belakangan aku baru tahu kalau ini disebut toxic positivity).
Akhirnya, dengan agak was-was aku menghubungi seorang teman yang kebetulan seorang konselor psikologi.
Bukan cuma spa, Traveloka Xperience juga menyediakan tiket masuk segala macam hiburan, mulai atraksi, bioskop, event, olahraga, taman bermain, tur, bahkan kursus, kuliner dan pelengkap perjalanan macam airport lounge, rental wifi, pembelian SIM card negara tujuan, serta pemotretan profesional pun ada. Pokoknya, selama trip kita tinggal jalan aja, nggak perlu repot dengan hal-hal yang menguras emosi dan membuang-buang waktu. Cocok banget pokoknya buat kita yang maunya memperbaiki mood dan kondisi psikis.
Soalnya kan, kadang-kadang jalan-jalan juga bisa malah menyebabkan stress.
Antrian mengular di loket pembelian tiket masuk adalah salah satu yang bikin sebel. Bukannya bersenang-senang, eh malah ngomel-ngomel gara-gara harus berdiri di antrian, apalagi kalau akhir pekan. Giliran bisa masuk ke lokasi, udah capek duluan. Rugi kan? Batal refresh deh. Bisa-bisa malah timbul masalah baru buat orang dengan kondisi psikis kayak aku.
Bagus banget nih kalau ada yang nanya begini. Orang dengan mental illness butuh sekali dukungan dari lingkungan. Apa aja yang bisa dilakukan?
Kalau yang mengalami gejala ini kamu sendiri, jangan segan cari bantuan professional ya. Jangan didiagnosa sendiri, jangan pula mudah percaya teman yang ngomongnya suka seenak udel.
Nggak perlu kuatir mahal, karena klinik kesehatan jiwa termasuk yang di-cover oleh BPJS. Yang penting kamunya sehat.
Iya, kamu!
Jangan lupa bahagia juga.
Kalau perlu refreshing dan #xperienceseru, segera deh cuzz ke Traveloka Xperience.
#worldmentalhealthday
#mentalhealthawarenessweek
Film Joker yang baru-baru ini tayang, terlepas dari pro kontranya, lumayan membantu menyadarkan khalayak untuk lebih peduli terhadap gangguan mental.
Bagiku sendiri, nggak mudah menuangkan hal ini dalam bentuk tulisan. Selama ini cuma keluarga dan teman dekat yang tahu kondisi ini. Tapi demi #mentalhealthawareness, akhirnya aku tulis juga. Jangan dibully ya teman, aku nangisan, hahaha...
Pernahkah kamu merasa lelah lahir batin, fisik dan psikis, bahkan saking putus asanya sampai ingin hidup ini berakhir?
Aku pernah.
Tiba-tiba menangis di tengah keramaian tanpa sebab yang jelas. Bahkan di tengah pesta yang penuh keriuhan pun aku merasa sedih.
Aku juga gampang sekali lelah meskipun aktivitasku nggak berat. Aku bisa tidur setengah hari cuma karena jalan kaki ke minimarket.
Konsentrasi adalah hal yang berat buatku.
Kalau ada yang mengajakku bicara, aku cuma bisa mendengarkannya beberapa menit aja. Selebihnya, pikiranku terbang ke mana-mana.
Buku yang biasanya jadi sahabatku (seminggu bisa selesai 2 buku), tak lagi bisa kunikmati, karena aku cuma bisa fokus di satu dua halaman aja, selebihnya buyar.
Orang yang lihat kondisiku biasanya berujar, “Kamu kenapa sih, mbok ya bersyukur, hidupmu itu lho udah enak banget. Lihat si itu, hidupnya susah, bla..bla..bla..”
Apa nasihat ini bikin aku merasa lebih positif?
Enggak.
Justru sebaliknya, aku merasa makin terpuruk, menyalahkan diri sendiri, kenapa nggak bisa bersyukur, kenapa nggak bisa positive thinking, kenapa nggak punya semangat, dsb dll. (Belakangan aku baru tahu kalau ini disebut toxic positivity).
![]() |
Sumber konten: sehatmental.id |
Sampai suatu ketika aku merasa udah nggak kuat lagi, di twitter aku menemukan sebuah akun yang concern terhadap mental illness. Dalam twitnya dia memberi dorongan supaya kita mencari bantuan jika merasakan tanda-tanda seperti yang kurasakan.
Akhirnya, dengan agak was-was aku menghubungi seorang teman yang kebetulan seorang konselor psikologi.
Kenapa was-was?
Yah, memang begitulah kondisiku, kuatir dengan semua keputusan yang telah dan akan aku bikin. Rasanya seperti aku nggak siap dengan konsekuensi yang timbul. Apapun itu.
Apakah aku akan dihakimi? Apakah dia mau mendengarkan? Akankah aku merasa lebih baik? Gimana kalau sebaliknya? Apakah ini keputusan yang tepat?
Untungnya, konselorku ini paham sekali bagaimana berkomunikasi dengan orang sepertiku. Aku yang sebelumnya ragu untuk minta bantuan, akhirnya berhasil membulatkan tekad. Aku nggak mau gini terus. Hayati lelah, Bang.
Pertama kali kali tatap muka, yang kulakukan cuma nangis dan nangis. Aku juga nggak tau kenapa, rasanya semuanya berjubel jadi satu di kepalaku tanpa ada yang bisa kuungkapkan. Untungnya (lagi), konselorku itu nggak menekan untuk cerita atau apa. Saat aku udah mulai tenang, aku diminta melakukan beberapa hal seperti menggambar dll, yang nanti akan dianalisa oleh beliau.
Beliau juga menenangkanku dengan menjelaskan bahwa kondisi yang aku alami ini jamak terjadi pada perempuan, jadi aku nggak perlu merasa aneh atau gimana. Di pertemuan ke sekian yang membahas tentang hasil analisa, beliau juga menjelaskan bahwa hormon punya pengaruh di sini.
Hormon perempuan memang berbeda dengan laki-laki, jadi memperlakukannya pun nggak bisa sama. Kondisi seperti ini juga bukan disebabkan oleh kurang iman, kurang bersyukur atau hal semacam itu (komentar yang biasanya dilontarkan orang-orang). Perempuan susah menerima nasihat bukan karena bebal atau keras kepala, tapi karena memang perempuan nggak begitu saja percaya pada kata-kata. Bagi kami, tindakan lebih berbicara daripada ucapan. Perempuan biasanya mudah memaafkan, tetapi perlu dibantu supaya bisa berdamai dengan keadaan.
Setelah hasil analisaku muncul, aku mulai mengikuti terapi. Terapinya berupa pijat relaksasi dan terapi dyad (silakan gugling untuk penjelasannya). Pijat relaksasi ini adalah terapi yang aku tunggu-tunggu karena aku seringkali susah tidur (walaupun di saat lain aku bisa tidur seperti kerbau).
Selain menjalani terapi, aku disarankan agar dalam keseharian, aku cukup memberi waktu untuk diri sendiri, keluarga, pasangan dan teman. Jaga keseimbangan dunia dan akhirat, agar nggak timpang. Ini yang paling aku garis bawahi, karena anehnya, saat paling tertekan dalam hidupku adalah saat-saat di mana aku banyak beribadah dan nyaris tak punya waktu untuk menghibur diri.
Awalnya memang susah untuk berubah. Tapi ketika aku mulai mencoba melakukannya dan hasilnya aku merasa lebih bahagia, aku tahu ini adalah cara yang benar. Lagipula, kalo bukan kita yang peduli pada diri sendiri, siapa lagi?
Cara yang kutempuh pertama kali adalah kembali membaca buku fiksi yang kusukai (Harry Potter di urutan teratas).
It works.
Lalu menulis.
Dua hal ini, alhamdulillah akhirnya sangat membantuku untuk tetap waras (asal nggak membaca buku bertema mental illness aja, karena aku pernah baca 'Semusim dan Semusim Lagi', yang ada akunya malah tambah stress).
Membaca adalah intake, sedangkan menulis, ternyata adalah need of achievement-ku, karena di bidang itu setidaknya aku bisa punya prestasi (menang lomba, novel diterbitkan, blog menghasilkan, dll), sehingga aku bisa sedikit punya kepercayaan diri bahwa aku bisa juga melakukan sesuatu dengan benar, bukan ragu-ragu dan salah mulu.
Aku juga disarankan untuk refreshing secara berkala, tanpa menunggu gejala depresiku muncul.
Karena aku merasa sangat terbantu oleh pijat relaksasi konselorku, aku mulai cari-cari di mana tempat pijat yang menyediakan pijat relaksasi yang dekat dengan rumahku, jadi sewaktu-waktu perlu, aku bisa pijat di luar jadwal terapi.
Pas cari-cari, eh nemu banyak pilihan tempat spa dan pijat di Traveloka Xperience. Surprise dong. Ternyata Traveloka nggak cuma bisa buat pesen tiket, booking hotel dan bayar tagihan, pesan tempat pijat pun bisa.
Harganya juga ekonomis banget, lebih murah daripada paket aslinya. Paket 125 ribu cuma ditebus 100 ribu, ngirit 25 ribu tuh berarti banget lho, bisa buat makan sehari, hahaha *mukaanakkos*.
Trus trus, setelah beli paket, tinggal meluncur ke lokasi tanpa harus repot lagi. Cucok meong buat aku yang belum mampu buat repot-repotan. Udah hemat, praktis lagi.
Apakah aku akan dihakimi? Apakah dia mau mendengarkan? Akankah aku merasa lebih baik? Gimana kalau sebaliknya? Apakah ini keputusan yang tepat?
Untungnya, konselorku ini paham sekali bagaimana berkomunikasi dengan orang sepertiku. Aku yang sebelumnya ragu untuk minta bantuan, akhirnya berhasil membulatkan tekad. Aku nggak mau gini terus. Hayati lelah, Bang.
Pertama kali kali tatap muka, yang kulakukan cuma nangis dan nangis. Aku juga nggak tau kenapa, rasanya semuanya berjubel jadi satu di kepalaku tanpa ada yang bisa kuungkapkan. Untungnya (lagi), konselorku itu nggak menekan untuk cerita atau apa. Saat aku udah mulai tenang, aku diminta melakukan beberapa hal seperti menggambar dll, yang nanti akan dianalisa oleh beliau.
Beliau juga menenangkanku dengan menjelaskan bahwa kondisi yang aku alami ini jamak terjadi pada perempuan, jadi aku nggak perlu merasa aneh atau gimana. Di pertemuan ke sekian yang membahas tentang hasil analisa, beliau juga menjelaskan bahwa hormon punya pengaruh di sini.
Hormon perempuan memang berbeda dengan laki-laki, jadi memperlakukannya pun nggak bisa sama. Kondisi seperti ini juga bukan disebabkan oleh kurang iman, kurang bersyukur atau hal semacam itu (komentar yang biasanya dilontarkan orang-orang). Perempuan susah menerima nasihat bukan karena bebal atau keras kepala, tapi karena memang perempuan nggak begitu saja percaya pada kata-kata. Bagi kami, tindakan lebih berbicara daripada ucapan. Perempuan biasanya mudah memaafkan, tetapi perlu dibantu supaya bisa berdamai dengan keadaan.
Setelah hasil analisaku muncul, aku mulai mengikuti terapi. Terapinya berupa pijat relaksasi dan terapi dyad (silakan gugling untuk penjelasannya). Pijat relaksasi ini adalah terapi yang aku tunggu-tunggu karena aku seringkali susah tidur (walaupun di saat lain aku bisa tidur seperti kerbau).
Selain menjalani terapi, aku disarankan agar dalam keseharian, aku cukup memberi waktu untuk diri sendiri, keluarga, pasangan dan teman. Jaga keseimbangan dunia dan akhirat, agar nggak timpang. Ini yang paling aku garis bawahi, karena anehnya, saat paling tertekan dalam hidupku adalah saat-saat di mana aku banyak beribadah dan nyaris tak punya waktu untuk menghibur diri.
Awalnya memang susah untuk berubah. Tapi ketika aku mulai mencoba melakukannya dan hasilnya aku merasa lebih bahagia, aku tahu ini adalah cara yang benar. Lagipula, kalo bukan kita yang peduli pada diri sendiri, siapa lagi?
Cara yang kutempuh pertama kali adalah kembali membaca buku fiksi yang kusukai (Harry Potter di urutan teratas).
It works.
Lalu menulis.
Dua hal ini, alhamdulillah akhirnya sangat membantuku untuk tetap waras (asal nggak membaca buku bertema mental illness aja, karena aku pernah baca 'Semusim dan Semusim Lagi', yang ada akunya malah tambah stress).
Membaca adalah intake, sedangkan menulis, ternyata adalah need of achievement-ku, karena di bidang itu setidaknya aku bisa punya prestasi (menang lomba, novel diterbitkan, blog menghasilkan, dll), sehingga aku bisa sedikit punya kepercayaan diri bahwa aku bisa juga melakukan sesuatu dengan benar, bukan ragu-ragu dan salah mulu.
Aku juga disarankan untuk refreshing secara berkala, tanpa menunggu gejala depresiku muncul.
Karena aku merasa sangat terbantu oleh pijat relaksasi konselorku, aku mulai cari-cari di mana tempat pijat yang menyediakan pijat relaksasi yang dekat dengan rumahku, jadi sewaktu-waktu perlu, aku bisa pijat di luar jadwal terapi.
Pas cari-cari, eh nemu banyak pilihan tempat spa dan pijat di Traveloka Xperience. Surprise dong. Ternyata Traveloka nggak cuma bisa buat pesen tiket, booking hotel dan bayar tagihan, pesan tempat pijat pun bisa.
![]() |
Pilihan spa dan pijat di Traveloka Xperience |
![]() |
Pilih sesuai kebutuhan |
![]() |
Pilihan paket |
Harganya juga ekonomis banget, lebih murah daripada paket aslinya. Paket 125 ribu cuma ditebus 100 ribu, ngirit 25 ribu tuh berarti banget lho, bisa buat makan sehari, hahaha *mukaanakkos*.
Trus trus, setelah beli paket, tinggal meluncur ke lokasi tanpa harus repot lagi. Cucok meong buat aku yang belum mampu buat repot-repotan. Udah hemat, praktis lagi.
Bukan cuma spa, Traveloka Xperience juga menyediakan tiket masuk segala macam hiburan, mulai atraksi, bioskop, event, olahraga, taman bermain, tur, bahkan kursus, kuliner dan pelengkap perjalanan macam airport lounge, rental wifi, pembelian SIM card negara tujuan, serta pemotretan profesional pun ada. Pokoknya, selama trip kita tinggal jalan aja, nggak perlu repot dengan hal-hal yang menguras emosi dan membuang-buang waktu. Cocok banget pokoknya buat kita yang maunya memperbaiki mood dan kondisi psikis.
Soalnya kan, kadang-kadang jalan-jalan juga bisa malah menyebabkan stress.
Antrian mengular di loket pembelian tiket masuk adalah salah satu yang bikin sebel. Bukannya bersenang-senang, eh malah ngomel-ngomel gara-gara harus berdiri di antrian, apalagi kalau akhir pekan. Giliran bisa masuk ke lokasi, udah capek duluan. Rugi kan? Batal refresh deh. Bisa-bisa malah timbul masalah baru buat orang dengan kondisi psikis kayak aku.
"Tapi aku sehat-sehat aja nih, Kak. Gimana caranya kasih dukungan untuk teman atau keluarga yang ada gejala gangguan mental?"
Bagus banget nih kalau ada yang nanya begini. Orang dengan mental illness butuh sekali dukungan dari lingkungan. Apa aja yang bisa dilakukan?
- Menerima dan membuatnya merasa dihargai
![]() |
Sumber konten: sehatmental.id |
- Tetap libatkan dalam aktivitas
- Ajak untuk minta bantuan profesional
Kalau yang mengalami gejala ini kamu sendiri, jangan segan cari bantuan professional ya. Jangan didiagnosa sendiri, jangan pula mudah percaya teman yang ngomongnya suka seenak udel.
Nggak perlu kuatir mahal, karena klinik kesehatan jiwa termasuk yang di-cover oleh BPJS. Yang penting kamunya sehat.
Iya, kamu!
Jangan lupa bahagia juga.
Kalau perlu refreshing dan #xperienceseru, segera deh cuzz ke Traveloka Xperience.
#worldmentalhealthday
#mentalhealthawarenessweek