tikacerita.com,- Bagi orang dengan mental disorder/mental illness, mengakui bahwa dirinya ada dalam kondisi tersebut adalah suatu perjuangan. Apalagi di Indonesia yang warganya suka sekali memancang stigma. Tapi di bulan ini, bulan di mana ada World Mental Health Day, banyak orang akhirnya berani bersuara, mengakui bahkan menulis tentang penyakitnya, demi membuka mata masyarakat.
Film Joker yang baru-baru ini tayang, terlepas dari pro kontranya, lumayan membantu menyadarkan khalayak untuk lebih peduli terhadap gangguan mental.
Bagiku sendiri, nggak mudah menuangkan hal ini dalam bentuk tulisan. Selama ini cuma keluarga dan teman dekat yang tahu kondisi ini. Tapi demi #mentalhealthawareness, akhirnya aku tulis juga. Jangan dibully ya teman, aku nangisan, hahaha...
Pernahkah kamu merasa lelah lahir batin, fisik dan psikis, bahkan saking putus asanya sampai ingin hidup ini berakhir?
Aku pernah.
Tiba-tiba menangis di tengah keramaian tanpa sebab yang jelas. Bahkan di tengah pesta yang penuh keriuhan pun aku merasa sedih.
Aku juga gampang sekali lelah meskipun aktivitasku nggak berat. Aku bisa tidur setengah hari cuma karena jalan kaki ke minimarket.
Konsentrasi adalah hal yang berat buatku.
Kalau ada yang mengajakku bicara, aku cuma bisa mendengarkannya beberapa menit aja. Selebihnya, pikiranku terbang ke mana-mana.
Buku yang biasanya jadi sahabatku (seminggu bisa selesai 2 buku), tak lagi bisa kunikmati, karena aku cuma bisa fokus di satu dua halaman aja, selebihnya buyar.
Orang yang lihat kondisiku biasanya berujar, “Kamu kenapa sih, mbok ya bersyukur, hidupmu itu lho udah enak banget. Lihat si itu, hidupnya susah, bla..bla..bla..”
Apa nasihat ini bikin aku merasa lebih positif?
Enggak.
Justru sebaliknya, aku merasa makin terpuruk, menyalahkan diri sendiri, kenapa nggak bisa bersyukur, kenapa nggak bisa positive thinking, kenapa nggak punya semangat, dsb dll. (Belakangan aku baru tahu kalau ini disebut toxic positivity).
Akhirnya, dengan agak was-was aku menghubungi seorang teman yang kebetulan seorang konselor psikologi.
Bukan cuma spa, Traveloka Xperience juga menyediakan tiket masuk segala macam hiburan, mulai atraksi, bioskop, event, olahraga, taman bermain, tur, bahkan kursus, kuliner dan pelengkap perjalanan macam airport lounge, rental wifi, pembelian SIM card negara tujuan, serta pemotretan profesional pun ada. Pokoknya, selama trip kita tinggal jalan aja, nggak perlu repot dengan hal-hal yang menguras emosi dan membuang-buang waktu. Cocok banget pokoknya buat kita yang maunya memperbaiki mood dan kondisi psikis.
Soalnya kan, kadang-kadang jalan-jalan juga bisa malah menyebabkan stress.
Antrian mengular di loket pembelian tiket masuk adalah salah satu yang bikin sebel. Bukannya bersenang-senang, eh malah ngomel-ngomel gara-gara harus berdiri di antrian, apalagi kalau akhir pekan. Giliran bisa masuk ke lokasi, udah capek duluan. Rugi kan? Batal refresh deh. Bisa-bisa malah timbul masalah baru buat orang dengan kondisi psikis kayak aku.
Bagus banget nih kalau ada yang nanya begini. Orang dengan mental illness butuh sekali dukungan dari lingkungan. Apa aja yang bisa dilakukan?
Kalau yang mengalami gejala ini kamu sendiri, jangan segan cari bantuan professional ya. Jangan didiagnosa sendiri, jangan pula mudah percaya teman yang ngomongnya suka seenak udel.
Nggak perlu kuatir mahal, karena klinik kesehatan jiwa termasuk yang di-cover oleh BPJS. Yang penting kamunya sehat.
Iya, kamu!
Jangan lupa bahagia juga.
Kalau perlu refreshing dan #xperienceseru, segera deh cuzz ke Traveloka Xperience.
#worldmentalhealthday
#mentalhealthawarenessweek
Film Joker yang baru-baru ini tayang, terlepas dari pro kontranya, lumayan membantu menyadarkan khalayak untuk lebih peduli terhadap gangguan mental.
Bagiku sendiri, nggak mudah menuangkan hal ini dalam bentuk tulisan. Selama ini cuma keluarga dan teman dekat yang tahu kondisi ini. Tapi demi #mentalhealthawareness, akhirnya aku tulis juga. Jangan dibully ya teman, aku nangisan, hahaha...
Pernahkah kamu merasa lelah lahir batin, fisik dan psikis, bahkan saking putus asanya sampai ingin hidup ini berakhir?
Aku pernah.
Tiba-tiba menangis di tengah keramaian tanpa sebab yang jelas. Bahkan di tengah pesta yang penuh keriuhan pun aku merasa sedih.
Aku juga gampang sekali lelah meskipun aktivitasku nggak berat. Aku bisa tidur setengah hari cuma karena jalan kaki ke minimarket.
Konsentrasi adalah hal yang berat buatku.
Kalau ada yang mengajakku bicara, aku cuma bisa mendengarkannya beberapa menit aja. Selebihnya, pikiranku terbang ke mana-mana.
Buku yang biasanya jadi sahabatku (seminggu bisa selesai 2 buku), tak lagi bisa kunikmati, karena aku cuma bisa fokus di satu dua halaman aja, selebihnya buyar.
Orang yang lihat kondisiku biasanya berujar, “Kamu kenapa sih, mbok ya bersyukur, hidupmu itu lho udah enak banget. Lihat si itu, hidupnya susah, bla..bla..bla..”
Apa nasihat ini bikin aku merasa lebih positif?
Enggak.
Justru sebaliknya, aku merasa makin terpuruk, menyalahkan diri sendiri, kenapa nggak bisa bersyukur, kenapa nggak bisa positive thinking, kenapa nggak punya semangat, dsb dll. (Belakangan aku baru tahu kalau ini disebut toxic positivity).
![]() |
Sumber konten: sehatmental.id |
Sampai suatu ketika aku merasa udah nggak kuat lagi, di twitter aku menemukan sebuah akun yang concern terhadap mental illness. Dalam twitnya dia memberi dorongan supaya kita mencari bantuan jika merasakan tanda-tanda seperti yang kurasakan.
Akhirnya, dengan agak was-was aku menghubungi seorang teman yang kebetulan seorang konselor psikologi.
Kenapa was-was?
Yah, memang begitulah kondisiku, kuatir dengan semua keputusan yang telah dan akan aku bikin. Rasanya seperti aku nggak siap dengan konsekuensi yang timbul. Apapun itu.
Apakah aku akan dihakimi? Apakah dia mau mendengarkan? Akankah aku merasa lebih baik? Gimana kalau sebaliknya? Apakah ini keputusan yang tepat?
Untungnya, konselorku ini paham sekali bagaimana berkomunikasi dengan orang sepertiku. Aku yang sebelumnya ragu untuk minta bantuan, akhirnya berhasil membulatkan tekad. Aku nggak mau gini terus. Hayati lelah, Bang.
Pertama kali kali tatap muka, yang kulakukan cuma nangis dan nangis. Aku juga nggak tau kenapa, rasanya semuanya berjubel jadi satu di kepalaku tanpa ada yang bisa kuungkapkan. Untungnya (lagi), konselorku itu nggak menekan untuk cerita atau apa. Saat aku udah mulai tenang, aku diminta melakukan beberapa hal seperti menggambar dll, yang nanti akan dianalisa oleh beliau.
Beliau juga menenangkanku dengan menjelaskan bahwa kondisi yang aku alami ini jamak terjadi pada perempuan, jadi aku nggak perlu merasa aneh atau gimana. Di pertemuan ke sekian yang membahas tentang hasil analisa, beliau juga menjelaskan bahwa hormon punya pengaruh di sini.
Hormon perempuan memang berbeda dengan laki-laki, jadi memperlakukannya pun nggak bisa sama. Kondisi seperti ini juga bukan disebabkan oleh kurang iman, kurang bersyukur atau hal semacam itu (komentar yang biasanya dilontarkan orang-orang). Perempuan susah menerima nasihat bukan karena bebal atau keras kepala, tapi karena memang perempuan nggak begitu saja percaya pada kata-kata. Bagi kami, tindakan lebih berbicara daripada ucapan. Perempuan biasanya mudah memaafkan, tetapi perlu dibantu supaya bisa berdamai dengan keadaan.
Setelah hasil analisaku muncul, aku mulai mengikuti terapi. Terapinya berupa pijat relaksasi dan terapi dyad (silakan gugling untuk penjelasannya). Pijat relaksasi ini adalah terapi yang aku tunggu-tunggu karena aku seringkali susah tidur (walaupun di saat lain aku bisa tidur seperti kerbau).
Selain menjalani terapi, aku disarankan agar dalam keseharian, aku cukup memberi waktu untuk diri sendiri, keluarga, pasangan dan teman. Jaga keseimbangan dunia dan akhirat, agar nggak timpang. Ini yang paling aku garis bawahi, karena anehnya, saat paling tertekan dalam hidupku adalah saat-saat di mana aku banyak beribadah dan nyaris tak punya waktu untuk menghibur diri.
Awalnya memang susah untuk berubah. Tapi ketika aku mulai mencoba melakukannya dan hasilnya aku merasa lebih bahagia, aku tahu ini adalah cara yang benar. Lagipula, kalo bukan kita yang peduli pada diri sendiri, siapa lagi?
Cara yang kutempuh pertama kali adalah kembali membaca buku fiksi yang kusukai (Harry Potter di urutan teratas).
It works.
Lalu menulis.
Dua hal ini, alhamdulillah akhirnya sangat membantuku untuk tetap waras (asal nggak membaca buku bertema mental illness aja, karena aku pernah baca 'Semusim dan Semusim Lagi', yang ada akunya malah tambah stress).
Membaca adalah intake, sedangkan menulis, ternyata adalah need of achievement-ku, karena di bidang itu setidaknya aku bisa punya prestasi (menang lomba, novel diterbitkan, blog menghasilkan, dll), sehingga aku bisa sedikit punya kepercayaan diri bahwa aku bisa juga melakukan sesuatu dengan benar, bukan ragu-ragu dan salah mulu.
Aku juga disarankan untuk refreshing secara berkala, tanpa menunggu gejala depresiku muncul.
Karena aku merasa sangat terbantu oleh pijat relaksasi konselorku, aku mulai cari-cari di mana tempat pijat yang menyediakan pijat relaksasi yang dekat dengan rumahku, jadi sewaktu-waktu perlu, aku bisa pijat di luar jadwal terapi.
Pas cari-cari, eh nemu banyak pilihan tempat spa dan pijat di Traveloka Xperience. Surprise dong. Ternyata Traveloka nggak cuma bisa buat pesen tiket, booking hotel dan bayar tagihan, pesan tempat pijat pun bisa.
Harganya juga ekonomis banget, lebih murah daripada paket aslinya. Paket 125 ribu cuma ditebus 100 ribu, ngirit 25 ribu tuh berarti banget lho, bisa buat makan sehari, hahaha *mukaanakkos*.
Trus trus, setelah beli paket, tinggal meluncur ke lokasi tanpa harus repot lagi. Cucok meong buat aku yang belum mampu buat repot-repotan. Udah hemat, praktis lagi.
Apakah aku akan dihakimi? Apakah dia mau mendengarkan? Akankah aku merasa lebih baik? Gimana kalau sebaliknya? Apakah ini keputusan yang tepat?
Untungnya, konselorku ini paham sekali bagaimana berkomunikasi dengan orang sepertiku. Aku yang sebelumnya ragu untuk minta bantuan, akhirnya berhasil membulatkan tekad. Aku nggak mau gini terus. Hayati lelah, Bang.
Pertama kali kali tatap muka, yang kulakukan cuma nangis dan nangis. Aku juga nggak tau kenapa, rasanya semuanya berjubel jadi satu di kepalaku tanpa ada yang bisa kuungkapkan. Untungnya (lagi), konselorku itu nggak menekan untuk cerita atau apa. Saat aku udah mulai tenang, aku diminta melakukan beberapa hal seperti menggambar dll, yang nanti akan dianalisa oleh beliau.
Beliau juga menenangkanku dengan menjelaskan bahwa kondisi yang aku alami ini jamak terjadi pada perempuan, jadi aku nggak perlu merasa aneh atau gimana. Di pertemuan ke sekian yang membahas tentang hasil analisa, beliau juga menjelaskan bahwa hormon punya pengaruh di sini.
Hormon perempuan memang berbeda dengan laki-laki, jadi memperlakukannya pun nggak bisa sama. Kondisi seperti ini juga bukan disebabkan oleh kurang iman, kurang bersyukur atau hal semacam itu (komentar yang biasanya dilontarkan orang-orang). Perempuan susah menerima nasihat bukan karena bebal atau keras kepala, tapi karena memang perempuan nggak begitu saja percaya pada kata-kata. Bagi kami, tindakan lebih berbicara daripada ucapan. Perempuan biasanya mudah memaafkan, tetapi perlu dibantu supaya bisa berdamai dengan keadaan.
Setelah hasil analisaku muncul, aku mulai mengikuti terapi. Terapinya berupa pijat relaksasi dan terapi dyad (silakan gugling untuk penjelasannya). Pijat relaksasi ini adalah terapi yang aku tunggu-tunggu karena aku seringkali susah tidur (walaupun di saat lain aku bisa tidur seperti kerbau).
Selain menjalani terapi, aku disarankan agar dalam keseharian, aku cukup memberi waktu untuk diri sendiri, keluarga, pasangan dan teman. Jaga keseimbangan dunia dan akhirat, agar nggak timpang. Ini yang paling aku garis bawahi, karena anehnya, saat paling tertekan dalam hidupku adalah saat-saat di mana aku banyak beribadah dan nyaris tak punya waktu untuk menghibur diri.
Awalnya memang susah untuk berubah. Tapi ketika aku mulai mencoba melakukannya dan hasilnya aku merasa lebih bahagia, aku tahu ini adalah cara yang benar. Lagipula, kalo bukan kita yang peduli pada diri sendiri, siapa lagi?
Cara yang kutempuh pertama kali adalah kembali membaca buku fiksi yang kusukai (Harry Potter di urutan teratas).
It works.
Lalu menulis.
Dua hal ini, alhamdulillah akhirnya sangat membantuku untuk tetap waras (asal nggak membaca buku bertema mental illness aja, karena aku pernah baca 'Semusim dan Semusim Lagi', yang ada akunya malah tambah stress).
Membaca adalah intake, sedangkan menulis, ternyata adalah need of achievement-ku, karena di bidang itu setidaknya aku bisa punya prestasi (menang lomba, novel diterbitkan, blog menghasilkan, dll), sehingga aku bisa sedikit punya kepercayaan diri bahwa aku bisa juga melakukan sesuatu dengan benar, bukan ragu-ragu dan salah mulu.
Aku juga disarankan untuk refreshing secara berkala, tanpa menunggu gejala depresiku muncul.
Karena aku merasa sangat terbantu oleh pijat relaksasi konselorku, aku mulai cari-cari di mana tempat pijat yang menyediakan pijat relaksasi yang dekat dengan rumahku, jadi sewaktu-waktu perlu, aku bisa pijat di luar jadwal terapi.
Pas cari-cari, eh nemu banyak pilihan tempat spa dan pijat di Traveloka Xperience. Surprise dong. Ternyata Traveloka nggak cuma bisa buat pesen tiket, booking hotel dan bayar tagihan, pesan tempat pijat pun bisa.
![]() |
Pilihan spa dan pijat di Traveloka Xperience |
![]() |
Pilih sesuai kebutuhan |
![]() |
Pilihan paket |
Harganya juga ekonomis banget, lebih murah daripada paket aslinya. Paket 125 ribu cuma ditebus 100 ribu, ngirit 25 ribu tuh berarti banget lho, bisa buat makan sehari, hahaha *mukaanakkos*.
Trus trus, setelah beli paket, tinggal meluncur ke lokasi tanpa harus repot lagi. Cucok meong buat aku yang belum mampu buat repot-repotan. Udah hemat, praktis lagi.
Bukan cuma spa, Traveloka Xperience juga menyediakan tiket masuk segala macam hiburan, mulai atraksi, bioskop, event, olahraga, taman bermain, tur, bahkan kursus, kuliner dan pelengkap perjalanan macam airport lounge, rental wifi, pembelian SIM card negara tujuan, serta pemotretan profesional pun ada. Pokoknya, selama trip kita tinggal jalan aja, nggak perlu repot dengan hal-hal yang menguras emosi dan membuang-buang waktu. Cocok banget pokoknya buat kita yang maunya memperbaiki mood dan kondisi psikis.
Soalnya kan, kadang-kadang jalan-jalan juga bisa malah menyebabkan stress.
Antrian mengular di loket pembelian tiket masuk adalah salah satu yang bikin sebel. Bukannya bersenang-senang, eh malah ngomel-ngomel gara-gara harus berdiri di antrian, apalagi kalau akhir pekan. Giliran bisa masuk ke lokasi, udah capek duluan. Rugi kan? Batal refresh deh. Bisa-bisa malah timbul masalah baru buat orang dengan kondisi psikis kayak aku.
"Tapi aku sehat-sehat aja nih, Kak. Gimana caranya kasih dukungan untuk teman atau keluarga yang ada gejala gangguan mental?"
Bagus banget nih kalau ada yang nanya begini. Orang dengan mental illness butuh sekali dukungan dari lingkungan. Apa aja yang bisa dilakukan?
- Menerima dan membuatnya merasa dihargai
![]() |
Sumber konten: sehatmental.id |
- Tetap libatkan dalam aktivitas
- Ajak untuk minta bantuan profesional
Kalau yang mengalami gejala ini kamu sendiri, jangan segan cari bantuan professional ya. Jangan didiagnosa sendiri, jangan pula mudah percaya teman yang ngomongnya suka seenak udel.
Nggak perlu kuatir mahal, karena klinik kesehatan jiwa termasuk yang di-cover oleh BPJS. Yang penting kamunya sehat.
Iya, kamu!
Jangan lupa bahagia juga.
Kalau perlu refreshing dan #xperienceseru, segera deh cuzz ke Traveloka Xperience.
#worldmentalhealthday
#mentalhealthawarenessweek
56 komentar
Wah harus tetap semangat nih Mbak, jangan putus asa ya Mbak. Mbak pasti bisa kok hehe
BalasHapusMakasih semangatnya Mbak Anis 😍
HapusLanjutkan Mbak bakat menulisnya. Keren banget nih, bisa menang perlombaan bahkan sudah punya karya novel sendiri
BalasHapusSiap Mbak Meiga, makasih dukungannya 😘
HapusKalau saya mungkin dengan cara berlibur Mbak hihi. Bermain ke tempat wisata gitu :D
BalasHapusIya, sama mbak, liburan itu penting, hehehe
Hapusmbak, kok aku bacanya mewek ya. Peluk dari jauh buat mbak Tika. Kayaknya aku perlu konseling juga nih, pengen nangis mulu, Apalagi setelah HC kemarin grifin dapat nilai 0, huhuhu
BalasHapusPeluk juga Mbak Eni, kadang aku baca cerita penyintas lain juga mewek mbak. Kuy konseling mbak, semoga bisa lebih baik yak
Hapusbener banet, paling utama adalah positif thinkinh, kedua piknik meskipun tipis tipis.
BalasHapusdan bisa dibantu traveloka klo mau mudah refresingnya
Betul betul, meski tipis tetep piknik ceritanya ya mas? 😄
HapusTulisannya keren mbak Tika, semangat ya mbak..
BalasHapusJangan lupa pake Traveloka Xperience juga.. hehe
Makasih Dzik, pasti dong, bakal langganan pijat habis ini, hahaha
HapusKesehatan mental memang harus dijaga selain kesehatan fisik. Dg sehat secara mental dan fisik, kita jadi mudah untuk merasa bahagia dan emlakukan hal2 positif.
BalasHapusBetul betul, sebelum kejadian, sebaiknya dicegah ya mbak?
HapusSuka banget baca tulisan ini. Kebetulan saya lagi senang baca-baca tentang kesehatan mental, yg sebenarnya sama pentingnya dengan kesehatan badan. Iyes, Mbak. Masyarakat kita mungkin banyak yg gak paham ini. Contohnya memperlakukan ibu baru melahirkan yg jelas2 hormonnya fluktuatif. Juga judgement bahwa perempuan yg sedang dilanda mental illness ini kurang iman, duuhh..
BalasHapusTrus, setuju deh jika Traveloka xperience bisa jadi pilihan untuk mencari tempat relaksasi. Nice info :)
Makasih Mbak Tatiek. Yg bikin sedih tuh justru yg suka ngejudge juga sesama perempuan ya mbak?
HapusWah aku baru tau ada istilah toxic positivity mba. Mungkin itu juga yang aku rasakan ketika akhir akhir ini semakin muak sama motivasi2 ala mario teguh wkwkwkw
BalasHapusUntung udah nggak ada lagi tayangan itu.
Btw iya. Traveloka experience banyak potongan harganya yaa. Asiiik bisa pijet diskon.
Tuh kan, emang perempuan ya, lebih liat kenyataan daripada mulut manis, wkwkwk.
HapusCuzz mbak pijet juga, hihihi
Lumayan ya untuk Traveloka experience banyak diskon..
BalasHapusMengenai mental illness ak dulu di Jakarta jg konsul beberapa kali dengan psikolog asal Malang. Memang membantu.. Kok aku jadi terharu gini yah.. Semangat mba
Makasih Mbak Dyah *pelukpeluk
HapusMemang biasanya kalo ada masalah bisa jadi Insom. Makanya perlu relaksasi dengan bacaan Al Quran. Kalo ada masalah pasrahkan aja sama Allah
BalasHapusSip, makasih mas
HapusSemoga skrg lebih baikan ya krn sdh tahu solusinya bagaimana. Tetep lanjut menulis karna mb tahu punya passion disotu. Jadi percaya diri lagi. Smngatt yaa mb...
BalasHapusIye bener mbak, alhamdulillah. Makasih semangatnya mbak
Hapusmenjaga kesehatan tubuh dengan mengkonsumsi makanan bergizi, menjaga kesehatan jiwa dan otak dengan liburan. menikmati keindahan alam
BalasHapusBetul betul, termasuk memilih pasangan yang menyehatkan jiwa ya mas? *kaboorr
Hapusaku sudah sendu banget baca awal2, lah ujung2nya ... melapak juga. haha, sip sip! aku jg kadang merasa gak waras, tapi untungnya aku males mikir. yg terjadi terjadilah!
BalasHapusWkwkwk, maapkeun, sekali dayung beberapa pulau disinggahi mbak, curhatnya berat soalnya 😂
HapusMbak Tika, kalau mau ngaku aku juga pernah sih diganggu kecemasan berlebih semacam anxiety gitu. Dan justru gejala itu muncul malah saat ibadah. Takut meninggal, takut tiba-tiba pingsan, takut kesurupan, pokoknya takut banget. Tapi ketika curhat dan berdoa sampai nangis - nangis sama Allah SWT baru deh agak mendingan. Terus aku dengarkan murotal Al Qur'an. Perlahan menghilang bisikan-bisikan ketakutannya. Sepertinya aku gak parah banget karena sekarang udah nggak muncul lagi gejala itu. Sempat berbulan-bulan juga gejalanya. Curhat ke siapa pun malah gak ada solusi.
BalasHapusBtw aku suka ih sama cerita di atas, soft banget menyampaikannya.
Makasih mbak. Wah ternyata banyak temennya ya? Aku sempat ketemu beberapa temen yg kena anxiety tapi nggak ketemu psikolog yg pas, duh kasian, apalagi kalo plus panic attack, liatnya aja bisa ikut nangis. Dan yg begini biasanya rajin ibadah lho, jadi aku paling protes kalo ada yg bilang kurang iman.
HapusSaya pernah mengalami, bahkan mengira perlu diruqyah. Saya datang ke dokter yang sekaligus peruqyah malah diketawain. Disuruh pulang. Hahaha..... Akhirnya, sama, Mbak, aku rajinkan membaca dan menulis. Kalau jalan-jalan kurang suka, sebab sering mabuk perjalanan. Hehehe....
BalasHapusWas samaan nih membaca dan menulis jadi terapi. Jalan-jalannya deket aja mbak, ke mal ato pijet, hehehe
Hapuswah ternyata bisa juga untuk jaga mood agar tetap fresh dengan jalan menggunakan traveloka xperience ini.
BalasHapusBetul sekali mas, banyak pilihan kalo kita mau nge-charge semangat
HapusIni nulisnya pake hati banget kayaknya. Aku terbawa suasana dgn ceritanya. Semoga terus bisa menjaga keseimbangan y mbak agar gak tertekan dan depresi berulang2.
BalasHapusAnyway, di tengah cerita aku terkaget. Soft banget alurnya
Amin.. makasih doanya mbak,butuh banget dukungan lingkungan.
HapusHehehe... Semoga kagetnya gak bikin jantungan 😂
semangat,semangat semangat,,jangan putus asa dan pantang menyerah
BalasHapusMakasih makasih, semangat juga mas
HapusKalau aku jalan2 dan makan enak hihi.. btw salam kenal ya mba Tika
BalasHapusHai Mbak Monika, salam kenal juga. Makan enak dan jalan-jalan tuh andalan perempuan banget ya, hahaha
HapusWah kok sama sih mbak Tika. Aku kepanasan bersepeda motor setengah jam aja, tidurnya setengah hari untuk bisa pulih 🤣
BalasHapusHihihi, tos mbak
Hapusjadi, aku pernah ada di posisi "merawat Bundaku" yang depresi.
BalasHapusSering ikutan konsul, karena pendamping juga perlu di konsul.
Jaid faham penyebab orang-orang depresi seperti ibuku, semua orang anggap dia kuat sehingga saat dia ada masalah tidak ada yang mendengarkan dengan serius. Its heartbreaking, kami semua merasa bersalah.
Gimana kondisi ibunya sekarang mbak? Semoga udah membaik. Hikmahnya semua jadi aware ya mbak, itu luar biasa banget lho, mengingat banyak lingkungan yang abai, bahkan menganggap orang dengan mental illness itu cuma cari perhatian. What a great family you have.
HapusMbaaa, saya juga pernah mengalami hal yang sama. Bedanya di sini akses psikolog nggak ada. Pernah nyoba online tapi hasilnya nggak memuaskan. Jadi saya mencoba cerita ke orang terdekat saja. Memang sarannya bukan dari profesional tapi setidaknya membuat sedikit lega.
BalasHapusWah, alhamdulillah banget ya ada orang dekat yg mendukung, itu luar biasa
HapusSubhanallah, itu bener, toxic positivity bener bener mengganggu alih alih menyembuhkan atau menyelesaikan masalah
BalasHapusIya, dan seringnya justru dari lingkungan terdekat. Miris..
HapusMemang harus minta bantuan profesional ya kalau merasa ada yang salah di diri kita daripada dipendam dan semakin parah perasaannya makin depresi juga nanti, salut aku padamu Tika sudah mencari bantuan dan menuliskannya..semoga sehat selalu yaa..
BalasHapusAmin.. Makasih Mbak Dedew supportnya, semoga Mbak juga sehat selalu
Hapusaku dulu pernah mengalami tanda-tanda seperti itu tahun 2007. alhamdulillah bisa pulih sekitar tahun 2008. ternyata liburan memang bisa membantu agar pikiran tetap waras.
BalasHapusWahh ada temennya ternyata, untung segera pulih ya kak
Hapussemangaaat hehe
BalasHapusjangan lupa mampir juga yaa gadisimpulsif.wordpress.com/2020/05/13/infp-dan-depresi-wahai-infp-sayangilah-dirimu-terlebih-dahulu/
Hai hai, siap kakkk
HapusMANTAP !!! Terima kasih untuk infonya. Sangat bermanfaat
BalasHapussama-sama kak
HapusHaii, salam kenal. Terima kasih sudah berkunjung. Silakan komentar di sini yaa.