tikacerita.com,- Gara-gara menulis serial terapi alergi Mencoba Terapi Bioresonansi untuk Alergi) hingga tulisan ke-6 (Terapi Bioresonansi Kenapa Perlu Lanjut), banyak japrian yang masuk (ditambah pertanyaan-pertanyaan di Quora) yang nanyain: 'Mbakk gimana hasil bioresonansi?'
Jadi ini dia jawabannya.
Alhamdulillah, yang sebelumnya aku alergi pada 54 jenis alergen, setelah sekian bulan terapi akhirnya berkurang jadi 41.
Masih banyak ya? Haha, udah bersyukur banget ini mah, daripada enggak sama sekali. Orang-orang lain yang beberapa bulan terapi tapi reaksi alerginya udah berkurang jauh, biasanya jenis alergennya memang nggak banyak. Kadang nggak sampai 10. Jadi aku harus tau diri, nggak menuntut supaya cepet sembuh total. Nanti ditegur sama malaikat: woii inget bersyukur woi, bisa bayar terapi udah alhamdulillah. Hahaha..
![]() |
Jadi ini dia jawabannya.
![]() |
Kalo kurang jelas di-zoom aja yess |
Alhamdulillah, yang sebelumnya aku alergi pada 54 jenis alergen, setelah sekian bulan terapi akhirnya berkurang jadi 41.
Masih banyak ya? Haha, udah bersyukur banget ini mah, daripada enggak sama sekali. Orang-orang lain yang beberapa bulan terapi tapi reaksi alerginya udah berkurang jauh, biasanya jenis alergennya memang nggak banyak. Kadang nggak sampai 10. Jadi aku harus tau diri, nggak menuntut supaya cepet sembuh total. Nanti ditegur sama malaikat: woii inget bersyukur woi, bisa bayar terapi udah alhamdulillah. Hahaha..
Sebenarnya terapi macam apa sih ini?
Jadiii.. terapi ini menggunakan dasar teori fisika kuantum, seperti yang dijelaskan di sini, dengan cara memperbaiki komunikasi antar sel. Cara kerjanya adalah dengan mengembalikan frekuensi gelombang elektromagnetik yang terganggu ke frekuensi yang normal. Menurut penelitian, sel lebih sensitif 100x terhadap informasi dalam bentuk gelombang elektromagnetik dibanding informasi secara kimia. Nggak heran, menurut studi, tingkat keberhasilan terapi ini terhadap penderita alergi mencapai 84-93%. Benar-benar kabar baik untuk penderita alergi bukan?
Nah, sejak pandemi, jadwal praktek terapi bioresonansi di Persada Hospital dikurangi jadi tinggal rabu sama jumat aja, nggak tiap hari lagi. Jadwal terapiku sendiri juga dikurangi jadi 2 minggu sekali. Kata perawatnya, pasien lain bahkan banyak yang berhenti dulu terapinya. Aku sempat nanya ke dokternya, terapi terhenti gitu jadi gimana efeknya ke tubuh. Dokter bilang, yang seperti itu, nanti kalau mulai terapi lagi harus mengulang sinkronisasi lagi.
Aku sendiri dengan frekuensi dua minggu sekali aja rasanya ada aja reaksi alergi yang kambuh (yang paling sering sih gatel), nggak kebayang kalau harus berhenti sama sekali.
Enaknya jadi pasien bioresonansi di Persada tuh, udah kayak punya asisten pribadi aja. Kalo badan kenapa-napa, tinggal chat perawatnya: 'Mbak, aku kok begini-begini ya?'
Perawatnya biasanya bilang: 'Iya nanti kalau pas terapi saya kerjain'.
Hehe, jadi berasa nggak butuh ke dokter-dokter lain lagi. All in deh.
Aku kaget juga denger obrolan mereka (pasien-dokter-perawat). Ternyata bioresonansi bukan cuma buat alergi, karena konsepnya memang normalisasi gelombang tubuh.
Di momen yang lain lagi, aku terapi bareng sama seorang pasien autistik. Pernah juga bareng sama pasien autoimun. Di lain hari, bareng sama pasien stroke.
Dengan cara kerja yang aku jelaskan di atas, sebenarnya nggak heran juga kalau terapi ini bisa digunakan untuk penderita penyakit lain kan? Selain mengobati alergi dan mengurangi gejalanya, terapi bioresonansi ini berfungsi antara lain:
Jadi begitulah teman, barangkali keluarga kalian mencari pengobatan alternatif yang berbasis medis, mungkin terapi bioresonansi (biofisika/bio-e kalo di Persada) ini bisa jadi pertimbangan.
Tulisan ini mungkin postingan terakhir dari serial terapi bioresonansi di blog ini. Aku udah nggak tau lagi mau cerita apa soal terapi ini karena semuanya udah kuceritakan. Tinggal dijalani aja. Bagiku pribadi, terapinya bakalan masih lama kujalani, jadi aku perlu menguatkan diri sendiri untuk terus terapi sampai tuntas, sekaligus menguatkan kantong supaya tetap bisa membiayai terapi ini karena terus terang biaya terapi bioresonansi ini nggak bisa dibilang murah juga kalau harus rutin. Oya, siapa tahu kalian ingin membantuku membiayai biaya terapiku, kalian bisa membaca karyaku dengan membeli cendol di trakteer. Cuma 5 ribu kok harga cendolnya. Makasih banyak sebelumnya.
Buat kalian, apapun keputusan kalian, menjalani terapi ini atau nggak, lanjut terapi atau nggak, semoga itu yang terbaik. Amin..
Makasih udah bersedia mampir dan membaca. Semoga ada manfaatnya.
Jadiii.. terapi ini menggunakan dasar teori fisika kuantum, seperti yang dijelaskan di sini, dengan cara memperbaiki komunikasi antar sel. Cara kerjanya adalah dengan mengembalikan frekuensi gelombang elektromagnetik yang terganggu ke frekuensi yang normal. Menurut penelitian, sel lebih sensitif 100x terhadap informasi dalam bentuk gelombang elektromagnetik dibanding informasi secara kimia. Nggak heran, menurut studi, tingkat keberhasilan terapi ini terhadap penderita alergi mencapai 84-93%. Benar-benar kabar baik untuk penderita alergi bukan?
Nah, sejak pandemi, jadwal praktek terapi bioresonansi di Persada Hospital dikurangi jadi tinggal rabu sama jumat aja, nggak tiap hari lagi. Jadwal terapiku sendiri juga dikurangi jadi 2 minggu sekali. Kata perawatnya, pasien lain bahkan banyak yang berhenti dulu terapinya. Aku sempat nanya ke dokternya, terapi terhenti gitu jadi gimana efeknya ke tubuh. Dokter bilang, yang seperti itu, nanti kalau mulai terapi lagi harus mengulang sinkronisasi lagi.
Aku sendiri dengan frekuensi dua minggu sekali aja rasanya ada aja reaksi alergi yang kambuh (yang paling sering sih gatel), nggak kebayang kalau harus berhenti sama sekali.
Enaknya jadi pasien bioresonansi di Persada tuh, udah kayak punya asisten pribadi aja. Kalo badan kenapa-napa, tinggal chat perawatnya: 'Mbak, aku kok begini-begini ya?'
Perawatnya biasanya bilang: 'Iya nanti kalau pas terapi saya kerjain'.
Hehe, jadi berasa nggak butuh ke dokter-dokter lain lagi. All in deh.
Terapi Bioresonansi Bukan Cuma Buat Alergi
Kapan hari itu aku barengan terapi sama seorang pasien yang entah sakit apa. Dulu dia sempat didiagnosa umurnya cuma tinggal 6 bulan karena penyakit tersebut. Juga bakal mandul, nggak bisa punya anak. Tapi kemudian dia rutin terapi bioresonansi dan ternyata dia bisa bertahan sampai usia 30-an dan bisa punya anak.Aku kaget juga denger obrolan mereka (pasien-dokter-perawat). Ternyata bioresonansi bukan cuma buat alergi, karena konsepnya memang normalisasi gelombang tubuh.
Di momen yang lain lagi, aku terapi bareng sama seorang pasien autistik. Pernah juga bareng sama pasien autoimun. Di lain hari, bareng sama pasien stroke.
Dengan cara kerja yang aku jelaskan di atas, sebenarnya nggak heran juga kalau terapi ini bisa digunakan untuk penderita penyakit lain kan? Selain mengobati alergi dan mengurangi gejalanya, terapi bioresonansi ini berfungsi antara lain:
- Terapi pada penyakit kronis,
- Memperbaiki energi dan kebugaran tubuh,
- Detoksifikasi kimia, bakteri, virus, parasit, jamur, berbagai bentuk logam berat,
- Terapi terhadap nyeri dan kelelahan kronis.
- Menyembuhkan luka dan trauma pembedahan dengan lebih cepat.
Aku tahu, kalian pasti bertanya-tanya, kalau emang bisa untuk macam-macam penyakit, gimana dengan Covid-19?
Nah, kebetulan banget terakhir terapi kemarin aku nanya, alatnya bisa buat cek Covid nggak? Kata dr. Irine bisa dong, jadi langsung aja aku minta dicek. Alhamdulillah hasilnya negatif.
Menurut penjelasan beliau, bisa aja saat seseorang dites PCR hasilnya negatif tapi ketika dicek pakai Bio-E hasilnya positif lho. dan ini benar-benar terjadi pada seorang dokter. Hal semacam ni bisa terjadi karena saking pinternya si virus Covid-19 ini, yang bisa aja nggak berada dalam sample yang terciduk saat pengambilan. Nyebelin emang ya virus ini, pake ngerjain ngajak petak umpet segala.
Oiya, secara biaya, cek Covid-19 dengan alat ini relatif jauh lebih murah lho daripada tes PCR mandiri yang sampai berjuta-juta.
Tulisan ini mungkin postingan terakhir dari serial terapi bioresonansi di blog ini. Aku udah nggak tau lagi mau cerita apa soal terapi ini karena semuanya udah kuceritakan. Tinggal dijalani aja. Bagiku pribadi, terapinya bakalan masih lama kujalani, jadi aku perlu menguatkan diri sendiri untuk terus terapi sampai tuntas, sekaligus menguatkan kantong supaya tetap bisa membiayai terapi ini karena terus terang biaya terapi bioresonansi ini nggak bisa dibilang murah juga kalau harus rutin. Oya, siapa tahu kalian ingin membantuku membiayai biaya terapiku, kalian bisa membaca karyaku dengan membeli cendol di trakteer. Cuma 5 ribu kok harga cendolnya. Makasih banyak sebelumnya.
Buat kalian, apapun keputusan kalian, menjalani terapi ini atau nggak, lanjut terapi atau nggak, semoga itu yang terbaik. Amin..
Makasih udah bersedia mampir dan membaca. Semoga ada manfaatnya.
Baca juga: Ini Caraku Menjaga Kewarasan, Apa Caramu?