nav#menunav { border-bottom: 1px solid #e8e8e8; }

Bahasa Jaksel dan Gaya Hidup Generasi Masa Kini

tikacerita.com;- Sejak memiliki masalah dengan kesehatan mental, aku sering membahas topik ini baik dalam blog, obrolan dengan teman, maupun status di media sosial. Pada suatu waktu, seorang teman sekolah menimpali statusku dan menanyakan apakah aku seorang terapis atau psikolog karena sering menulis status tentang kesehatan mental. Aku tertawa dan menjawab kalau aku justru seorang pasien. Dia terkejut dan menyatakan keheranannya karena menurutnya Tika yang dia kenal adalah seorang yang ceria dan kuat. Aku hanya tertawa kecil dan berkata kalau proses perjalanan manusia berbeda-beda dan perubahan itu pasti. Tak ada yang pasti di dunia ini termasuk kondisi mental. 


bahasa jaksel dan gaya hidup


Temanku itu lanjut bertanya mengenai masalah apa yang aku hadapi hingga aku mengalami ketidakseimbangan mental. Sampai di sini, aku memperingatkanmu teman, jika ada orang yang penasaran dengan apa yang terjadi denganmu, jangan sekali-sekali langsung menceritakannya. Tahukah mengapa? Karena kebanyakan mereka hanya penasaran saja, kepo istilahnya, yang ujung-ujungnya belum tentu baik bagimu. Bisa jadi ia bakal cepu alias menceritakannya kepada orang lain, atau bahkan menghakimimu dengan ucapan kurang bersyukur, kurang ibadah, atau ucapan-ucapan semacam itu yang hanya membuat mentalmu makin turun. Jadi kuperingatkan, lebih baik jawablah dengan elegan, “Maaf, aku hanya membicarakannya dengan konselor/terapis/psikolog/psikiaterku,” sebelum ia melakukan hal-hal yang akan kau sesali belakangan.

Untungnya, aku memiliki blog ini, yang aku gunakan untuk curhat sekaligus memantau perkembangan kondisi kesehatanku sendiri, fisik dan mental, sehingga ketika ada orang yang ingin tahu dengan apa yang terjadi kepadaku, aku tinggal memberinya tautan blog ini, jadi dia bisa menjawab rasa ingin tahunya sendiri yang tentu saja sebatas apa yang ingin aku bagikan.

Aku pernah membahas caraku menjaga kewarasan, cara memulihkan diri dari depresi dan juga cara menghadapi orang depresi di blog ini. Kalau dia juga penasaran dengan apa yang terjadi dengan fisikku sehingga aku harus rutin jadi pasien rumah sakit, dia juga bisa membaca ceritaku tentang terapi yang aku jalani selama bertahun-tahun. Lengkap bukan? Blog ini seperti penyelamat bagiku yang memang tak banyak bicara, bercerita melalui tulisan. (Credit to Indah JKT48)

Kalian tahu, ada banyak orang di luaran sana yang seperti aku. Yang berjuang dengan diri mereka masing-masing untuk tetap bertahan hidup menghadapi segala macam tuntutan, baik dalam pekerjaan, kuliah, sekolah, keluarga, lingkungan dan lain sebagainya. Ada yang dituntut untuk segera menikah karena usia, yang menikah dituntut untuk segera punya anak, yang punya anak dituntut untuk memberi pendidikan dan kehidupan yang terbaik sehingga harus berhutang sana-sini, yang bekerja dituntut harus sempurna, yang bersekolah atau kuliah dituntut untuk mendapat nilai tinggi, dan berbagai tuntutan hidup yang lain. Hal-hal tersebut cukup membuat stres, lho! Tak heran makin ke sini makin banyak orang mengalami ketidakseimbangan mental. 

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi. Selama pandemi, kasusnya malah naik 6,5%.

Ditambah lagi, berdasarkan Sistem Registrasi Sampel yang dilakukan Badan Litbangkes tahun 2016, data orang yang melakukan bunuh diri per tahun mencapai 1800 orang atau bisa dikatakan setiap hari ada 5 orang yang melakukan bunuh diri. Yang lebih menyedihkan lagi, 47,7% korban bunuh diri adalah usia remaja dan usia produktif yaitu 10-39 tahun. 

Miris sekali, kan?


depresi


Meskipun begitu, kabar baiknya adalah, makin ke sini masyarakat makin sadar akan pentingnya kesehatan mental. 

Tahu dong dengan istilah ‘me time’, ‘love language’, ‘toxic relationship’, ‘gaslighting’, ‘support system’ dan istilah-istilah semacamnya yang akhir-akhir ini sedang booming

Yup, awalnya memang istilah-istilah tersebut dipopulerkan sebagai bahasa anak Jaksel yang suka berbicara bahasa campur-campur Indonesia-Inggris. Tapi sadar tidak sih, kalau istilah yang digunakan sebagian besar berkaitan dengan kesehatan mental? Awalnya aku juga tidak sadar, tapi ketika mulai tertular untuk berbicara dengan gaya bahasa itu juga, aku jadi menyadari bahwa fenomena ini menunjukkan bahwa mereka yang mempopulerkan istilah ini sedang berjuang untuk memperbaiki kondisi mental mereka masing-masing.  Apalagi istilah tersebut dipopulerkan oleh warga Jakarta, yang bisa dibilang kota yang penuh tuntutan dan tekanan, yang konon penduduknya harus berangkat beraktivitas sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam.  


bahasa jaksel


Biaya hidup tinggi, kemacetan, waktu yang lama di jalan, standar tinggi kota metropolitan, merupakan hal-hal yang bisa menjadi pemicu stress dan ketidakstabilan mental. Bisa jadi, dari situlah istilah-istilah yang berhubungan dengan kesehatan mental mulai populer dan banyak digunakan. Bahasa tersebut akhirnya menjadi semacam gaya hidup yang sudah menyatu dalam pembicaraan sehari-hari. 

Hal positif yang berkembang dari populernya gaya bahasa tersebut adalah, orang-orang mulai berani untuk bersuara ketika kondisi mereka sedang tidak baik-baik saja. 

Ketika merasa kelelahan, mereka akan meminta waktu untuk ‘break’ dan ‘healing’. Ketika sering menerima ‘gaslighting’, mereka bisa menyadari ‘red flag’ dalam hubungan dan mengetahui bahwa hubungan tersebut masuk dalam kategori ‘toxic relationship’. Ketika mengalami ‘emotional abuse’ mereka sadar kalau mereka membutuhkan ‘support system’. Kondisi ini cukup menggembirakan karena perlahan-lahan kita semua makin peduli akan kualitas mental alih-alih menghabiskan waktu memenuhi harapan orang lain.

Tentu saja itu semua mungkin tak akan pernah terwujud tanpa peran internet. 

Melalui internetlah ‘bahasa Jaksel’ menjadi populer dan menjadi gaya bahasa anak muda di hampir seluruh pelosok negeri ini. Melalui internet pulalah peduli kesehatan mental menjadi gaya hidup yang mulai dianut generasi masa depan bangsa ini. Manfaat internet tak bisa dipungkiri telah dirasakan oleh siapa pun, termasuk penganut gaya hidup sehat mental.

Webinar tentang kesehatan mental dan gaya hidup sehat menjamur dan bisa diikuti siapa saja tanpa tersekat jarak dan waktu. Platform-platform konsultasi kesehatan (fisik dan mental) begitu mudah diakses bahkan di pelosok daerah sekalipun. Ini sungguh perkembangan yang sangat menggembirakan.

Aku sendiri sebagai orang yang berusaha terus menjaga kesehatan mentalku, sangat mengandalkan keberadaan wifi di rumah. Konselorku bilang, aku harus terus berkarya untuk menjaga kepercayaan diriku. Beliau juga bilang hobiku harus terus dipupuk agar aku tidak gampang lelah secara psikis. Kedua hal tersebut sangat membutuhkan jaringan internet yang mumpuni, karena aku seorang penulis konten yang perlu melakukan banyak riset melalui internet, belum lagi bahan bacaan dan tontonan yang aku butuhkan untuk menghibur diri semuanya ada di internet. Gaya hidup seperti ini yang harus aku jaga agar kondisi mentalku tetap stabil.

Untunglah keluargaku mempercayakan jaringan internet kepada IndiHome dari Telkom Indonesia. Dengan IndiHome, aku bisa menjelajah internet dengan leluasa dan menonton video dengan lancar, termasuk bebas mengakses media sosial untuk mengetahui apa yang sedang trending dan melihat seberapa tinggi pengaruhnya terhadap warganet dalam gaya hidup mereka.

Seperti misalnya teman-temanku yang sebelumnya merasa bahwa masalah yang mereka miliki sebaiknya disimpan sendiri, sejak ramainya konten mengenai kesehatan mental dan banyaknya dorongan untuk mencari pertolongan, pada akhirnya memutuskan untuk benar-benar menemui profesional di bidang kesehatan mental. Aku sebagai teman tentu saja sangat mendukung keputusan tersebut dan berharap yang terbaik untuknya.

Dengan IndiHome, aku bukan hanya merasakan manfaat internet untukku sendiri, tapi juga untuk orang lain. Kami saling memberi support melalui media sosial dan media pesan seperti WA dan telegram. 

Aku ingat sekali saat seorang teman tiba-tiba menghubungiku dan mengatakan bahwa ia sedang dalam fase ingin mengakhiri hidup. Aku langsung memantaunya melalui WA, memastikan jaringan di rumahku lancar sehingga aku tak ketinggalan update apa pun dari dia. Untunglah IndiHome bisa dipercaya dalam melakukan tugas ini jadi aku terus bisa berkomunikasi dengannya hingga ia merasa agak stabil dan bisa menahan keinginannya untuk mengakhiri hidup. 


gaya hidup


Aku merasa sangat bersyukur untuk hal tersebut.

Aku tahu, tugasku tidak berhenti sampai di sini. Aku harus terus menjaga gaya hidupku seperti ini, menjaga hubungan dengan teman-temanku yang sama-sama sedang berjuang menjaga kondisi mental mereka juga, yang sebagian besar memang berada di luar jangkauan fisikku. Untuk itu, aku akan terus mempercayakan koneksi internetku kepada IndiHome, internetnya Indonesia, kepercayaan kita semua.

Terima kasih IndiHome!

Related Posts

27 komentar

  1. Kesehatan mental emang jadi subjek yang banyak dibahas akhir akhir ini karena banyak orang yang ngga sadar kalau mereka sedang mengalami masalah. Yang sederhana akan semakin rumit kalau segera tidak diatasi dan diselesaikan. Perlu ada kesadaran diri

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bersyukur sekali makin ke sini pada makin aware sama kesehatan mental

      Hapus
  2. Dengan memiliki support system yang baik seperti menggunakan internet indihome untuk saling memberi support melalui media sosial dan media pesan, bisa menjadi sarana healing yang luar biasa bagi jiwa-jiwa yang membutuhkan bantuan, ya.. sekedar hanya ingin didengar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget, kadang cuma ingin didengar

      Hapus
  3. kalau support system nya bagus in shaa allah mental aman yaa tinggal sejauh mana kita menghandle nya saja, saya udah pake indihome sejak bayi pertama 17 th lalu mbak sampe sekarang ga berpaling lagiii :)

    BalasHapus
  4. Aku bersyukur punya support system yang sangat solid mba. Mungkin tanpa mereka, kesehatan mentalku saat punya anak, bisa terjun bebas, Krn dulu awal2 , sebenernya bahakn sampe skr, aku ga terlalu mau punya anak. Hanya demi suami aja. Makanya sempet babyblues parah, dan di saat itu asistenku, suami, babysitter anqk2, semua sanggat support. ❤️

    Cuma itu memang yg dibutuhkan orang dengan diagnosis sakit mental, dukungan supaya mereka ga trus jatuh.

    Bersyukur Yaa kita bisa tinggal di abad skr, di mana segala macam informasi mudah banget didapat. Ga kebayang zaman dulu, mau cari informasi aja ngubek2 koran dulu, itupun blm tentu jawabannya bisa didapat 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya ampun pasti berat banget ya kak melalui baby blues. Ikut seneng akhirnya kakak bisa melalui itu semua

      Hapus
  5. Menulis adalah healing terbaik Mbak, semangat selalu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buat kita yg suka nulis iya banget nih haha

      Hapus
  6. Memang IndiHome selalu memberikan solusi terbaik ya Mba Tika.

    Btw, toxic relationship itu apa ya mba? Ga paham saya artinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Toxic relationship adalah hubungan yg membuat kita merasa direndahkan, disalahpahami, dibuang, bahkan diserang. Hubungan macam ini membuat kita merasa lebih buruk dibandingkan ketika sedang sendiri

      Hapus
  7. Sama banget dengan saya yang lebih senang bercerita dengan tulisan. Semangat, mbaaa

    BalasHapus
  8. Jujur, baru ngeh juga klo bahasa sehari-hari relate sama mental kita 😄

    BalasHapus
  9. wah ternyata ngaruh ya mb antara bahasa sehari-hari dengan kesehatan mentall.. nice info mb..

    BalasHapus
  10. Setiap orang memiliki cara sendiri dalam mengatasi kesehatan mentalnya. Healing terbaik adalah berasal dari dalam diri orang tersebut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali, cuma kadang perlu dibantu untuk melihat ke dalam diri kembali

      Hapus
  11. Kalo udah ngomongin mental health, kayak hal yang bener2 harus dijaga banget gitu untuk generasi sekarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dari dulu sebenarnya harus dijaga kak, karena tingkat bunuh diri dulu jauh lebih tinggi drpd sekarang, cuma generasi sekarang lebih aware aja jadi tampaknya seperti sangat menjaga

      Hapus
  12. aku pernah baca riset ttg salah satu terapi dri mental health issue adalah dg journaling jdi "tulis tulis dan tulis" waah mbak Tika udh bener bgt nulis iniii. anyway ttg bahasa jaksel wkwwk konon temanku yg tgl di LN ini terjadi krna mreka terbiasa ngmng bhsa inggris di kantor, akhirnya terbawa sampai ke bahasa sehari2 di campur2. makasih banyak insightnya ya mbak, gk rugi lah ini blogg walking ke sini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahaha makasih banyak ya mbak, senang kalau dirasa gak rugi main ke sini. Aku juga main ke sana yaaa

      Hapus
  13. Saya juga sering menulis di blog kak. Dan saat ada teman yang tanya, kuarahkan untuk baca blogku. Sayangnya kebanyakan jawaban mereka malah enggan, mereka pengen saya langsung cerita via chat, kan jadi bingung akunya. Hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah berat juga kalau yg dihadapi kurang suka membaca ya kak, jadi harus bercerita hehe

      Hapus
  14. intinya support systen bagus..mental aman...beda lagi kalo yg kudu menjaga mental secara mandiri...mental masih aman ga? hihihi

    BalasHapus

Haii, salam kenal. Terima kasih sudah berkunjung. Silakan komentar di sini yaa.