tikacerita.com,- Sejak tahu kalau harga go show kereta jarak dekat itu lumayan murah, aku jadi ketagihan buat jalan-jalan dan wisata kuliner ke kota-kota yang sebelumnya belum pernah kukunjungi. Rasanya aneh banget aku udah pernah ke Malaysia, Singapura dan Thailand tapi ke Semarang yang ibukota provinsi tetangga aja belum pernah. (Iya iyaa silakan timpuk siniii).
Iya sih, memang sebelum pandemi, harga tiket pesawat ke negara-negara tetangga tersebut kadang-kadang lebih murah daripada negeri sendiri, sampai-sampai orang Surabaya banyak yang lebih memilih liburan ke sana daripada ke Labuan Bajo atau Raja Ampat misalnya, yang memang biayanya nggak ringan. Namun setelah pandemi, harga tiket pesawat kembali ke harga wajar sehingga kita yang kantongnya pas-pasan ini harus berpikir dua kali kalau mau berlibur ke luar negeri sehingga lebih memilih liburan di dalam negeri aja. (Iya silakan kalau mau timpuk lagi -_-)
Sebelumnya aku sudah menulis rekomendasi kuliner di Madiun dan pengalaman dikerjain Google di Jogja, sekarang saatnya menambahkan cerita tentang perjalanan selama di Semarang terutama wisata kulinernya.
Aku berangkat ke Semarang naik kereta Brantas yang sampai di Stasiun Semarang Tawang sekitar puluh tujuh malam. Seperti stasiun kota mana pun, kita bisa minta dijemput ojol di titik pick up di halaman stasiun dengan syarat kita mau membayar biaya parkir ya. Aku sendiri memilih jalan ke luar stasiun bukan karena nggak mau bayar parkir tetapi karena risih sama calo-calonya (jadi ingat sama calo Stasiun Purwosari Solo yang super duper nyebelin dan ngotot banget).
Dari stasiun, aku langsung menuju ke penginapan yaitu The Capsule Gajahmada, sebuah hotel kapsul yang murah meriah banget, sesuai sama kantong solo traveler seperti aku ini. Harganya mulai 69 ribu dan tersedia rental selimut & handuk dengan menambahkan 20 ribu saja. Aku suka banget sama hotel kapsul ini karena tempat tidurnya sangat nyaman, AC-nya dingin dan ada mushollanya juga. Minusnya cuma shower-nya dingin (meskipun udah diputer mentok banget) dan tanpa handsoap (jadi harus bawa-bawa sabun kalau mau cuci tangan atau ke toilet tapi kalau ambil rental handuk dan selimut udah dapat sabun bulat kecil itu juga kok). Nggak ada slipper juga tetapi mereka menyediakan sandal jepit buat dibeli.
Hotel ini terletak di Jl. Gajahmada yang berada di tengah kota Semarang sehingga dekat kalau kalian mau ke mana-mana.
Setelah rebahan sebentar (ternyata lumayan encok ya duduk di kereta ekonomi yang non-premium tuh) dan bebersih diri, temanku datang menjemput dan kita mulai menjelajah kota Semarang. Karena aku selalu craving sama bakmi jawa, ke sanalah temanku membawaku, yaitu Bakmi Djowo Doel Noemani.
Bakmi jawa Semarang ini agak berbeda dengan bakmi jawa di kota lain seperti Jogja atau Solo. Entah lidahku yang tidak terbiasa atau bagaimana, kurasa bakmi jawa versi Semarang ini bumbunya kurang nendang. Meskipun begitu, aku cukup menikmati kok. Selain bakmi kuah yang memang jadi favoritku kalau mencari bakmi jawa, ada pilihan lain seperti bakmi goreng, bihun dan nasi goreng. Yang menarik adalah kondimen alias lauk tambahan yang disediakan. Jika di kota lain lauk tambahannya sudah siap makan, di Bakmi Djowo Doel Noemani itu lauknya lebih enak jika dibakar dan diberi kecap.
Kelar makan bakmi, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lebih. Kami melanjutkan perjalanan ke Semawis, sebuah jalan di kawasan Pecinan yang difungsikan untuk semacam pusat kuliner di malam hari. Sayangnya sesampainya kami di sana, sebagian besar pedagang sudah menutup kiosnya. Hanya tinggal beberapa yang buka dan berhubung kami baru saja makan, kami berniat tidak membeli apa-apa. Namun apa daya, di sebuah kios langkahku terhenti karena membaca tulisan Zuppa Soup. Bagi kalian pembaca lama blogku mungkin tahu kalau aku penggemar berat makanan yang satu ini, bahkan sempat mengulas beberapa Zuppa Soup di Malang demi menemukan yang terenak, di antaranya Zuppa Soup Madam Wang Malang yang masih ada sampai sekarang. Yang lain sudah tidak bertahan lagi jadi beberapa postingan memang terpaksa aku hapus.
Harganya standar seperti zuppa soup yang lain, berkisar 20 ribuan. Yang ini isi jagung harga 22 ribu. Rasanya enak, mirip-mirip sama zuppa di kondangan. Pastry-nya juga tebal jadi aku suka. Rekomen sih meskipun bukan khas Semarang banget yak. Di sana juga ada es kotak (aku lupa namanya apa) yang aku pingin coba cuma sayangnya udah tutup. Besoknya aku mau beli malah belum buka. Hadeh dasar nasip.
Dari Semawis, kami berputar-putar di kota Semarang, sampai entah berapa kali lewat simpang lima. Kuakui, kota Semarang itu bagus, enak dilihat dan banyak wilayah yang vibes-nya kota tua (meskipun ada yang yang beneran disebut kota tua). Semarang sampai malam juga masih ramai, banyak yang nongkrong di sana sini, di tepi jalan, di pinggir sungai dan jangan dikata kafenya, masih ramai juga.
Keesokan harinya, temanku bangun kesiangan dan bangun-bangun sepeda motornya sudah tak ada di tempatnya, jadi aku keluar hotel untuk mencari sarapan sendiri. Berbekal informasi dari google dan cerita temanku, salah satu rekomendasi makanan khas Semarang adalah Soto Bokoran. Kebetulan lokasinya tidak jauh dari hotel tempatku menginap. Jika saja suhu agak bersahabat, aku akan memilih untuk jalan kaki saja karena tak terlalu jauh. Sayangnya Semarang memang sepanas itu jadi aku memilih untuk naik ojol saja. Tarifnya bahkan hanya 9500 saking dekatnya.
Sebenarnya temanku sudah memperingatkan kalau Soto Bokoran ini antrinya bikin ngelus dada, tapi berhubung penasaran, aku tetap berangkat ke sana dan inilah yang kutemui kawan hahaha...
![]() |
Antrinya beuh |
Ada pilihan satu porsi atau setengah porsi di sana. Menyadari kemampuan makanku, aku memilih untuk memesan setengah porsi saja dengan harga sepuluh ribu. Yang membedakan soto di sini dengan di kota lain menurutku adalah bawang gorengnya. Biasanya soto yang aku tahu menggunakan bawang merah goreng aka brambang goreng, sedangkan di Semarang (terutama di Soto Bokoran) yang digunakan adalah bawang putih goreng. Secara rasa bagi lidahku sih termasuk super light alias ringan banget. Kuahnya bening dan rasanya ringan, bukan yang gurih banget. Tampaknya kuliner Semarang yang berkuah memang rasanya ringan-ringan, cocok buat kalian yang nggak terlalu suka rasa yang kuat.
Berhubung temanku masih belum berhasil mendapatkan sepeda motornya kembali, aku melanjutkan perjalanan ke Lawang Sewu dengan naik ojol. Di tengah-tengah gedung megah Lawang Sewu ternyata terhampar halaman yang cukup luas dan pas sekali aku berkunjung saat akhir pekan di mana ada pertunjukan live music keroncong. Di halaman tersebut juga tersedia berbagai jenis tenda makanan dan minuman. Aku cuma membeli segelas es degan saking haus dan panasnya Semarang.
Lawang Sewu ini memang sudah jadi tujuan utama wisata Semarang jadi tak heran kalau pengunjungnya sangat banyak apalagi ada rombongan dari sekolah dan kampus. Salah satu efeknya, Lawang Sewu yang katanya angker itu jadi berkesan tidak angker sama sekali. Memang ada beberapa ruangan yang kosong dan sepi, tetapi karena banyaknya pintu dan jendela, cahaya leluasa masuk dan menjadikannya terang benderang. Aku penasaran berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuka dan menutup semua pintu dan jendela itu ya?
Saat temanku akhirnya berhasil menguasai sepeda motornya kembali, ia menjemputku untuk check out dari hotel dan mengambil barang, kemudian kami menuju ke kuliner selanjutnya yang terletak tak jauh dari Stasiun Poncol yaitu Mie Kopyok Pak Dhuwur. Mie kopyok ini semacam lontong mie kalau di Surabaya tetapi tanpa rasa petis. Krupuk yang digunakan sebagai topping adalah krupuk puli. Pendapatku tentang mie kopyok ini sama seperti kuliner sebelumnya yaitu rasanya ringan, tapi karena isinya yang cukup penuh (mie, tahu, lontong, tauge, krupuk puli) bagiku lumayan bikin kenyang meskipun setelah itu aku masih sanggup makan Es Pankuk yang letaknya masih satu halaman dengan Mie Kopyok Pak Dhuwur.
Harga seporsi lengkap Es Pankuk ini 17 ribu berisi 4 varian es puter dan 3 jenis tambahan isi yaitu roti, agar-agar dan pankuk. Untuk Mie Kopyok-nya aku lupa harga pastinya, antara 14 atau 15 ribu kalau tidak salah. Es puternya enak dan ringan banget rasanya, sepertinya kalau nambah seporsi lagi aku masih kuat deh hahaha...
Kedua tempat ini hanya beberapa ratus meter dari stasiun Poncol jadi seandainya kamu nggak bawa kendaraan sendiri, jalan kaki bisa jadi pilihan.
Naahhh, itu dia beberapa wisata kuliner yang aku cobain selama di Semarang yang memang hanya semalam. Kesimpulannya, meskipun rasa makanan di Semarang itu ringan-ringan tetapi oke juga kok. Kotanya juga menarik (minus panas dan banjir doang sih) dan enak dilihat. Yang masih belum aku cobain adalah naik Trans Semarang hehehe.. Doain semoga lain kali bisa ke Semarang lagi yah.